Selasa, 30 November 2010

Hujan Di Halte Jalan Itu

Hari biasa berkata bahwa setiap kali hujan turun, setiap kali itu pula ia dapat melihat wajah-wajah yang kecewa. Tapi, tidak sedikit juga ia lihat wajah-wajah yang tersenyum bahagia. Tersenyum bahagia? Entahlah, tersenyum bahagia atau tersenyum sinis atas kehadiran makhluk bernama hujan yang tak pernah diundangnya. Tapi, bukankah senyum lebih banyak berarti senang dan bahagia? Ah, entahlah. Kalau kalian sempat mampir di halte jalan itu ketika hujan turun, kalian pasti akan melihat bagaimana ragam wajah-wajah itu semua. Atau, jangan-jangan wajah kalian-lah yang diperhatikan Hari selama ini. Wajah yang kecewa di saat hujan turun, wajah yang bahagia di saat air membasahi pohon-pohon akasia dan menggenangi aspal yang makin hitam setelah dipanggang matahari siang tadi.

ORANG-ORANG yang lewat jalan itu memang orang-orang yang sibuk. Setiap orang memiliki rutinitas yang padat. Setiap hari-hari mereka selalu penuh dengan jadwal pertemuan dengan rekan bisnisnya. Karena waktu adalah uang, maka tidak boleh ada waktu yang terlewati dengan sia-sia. Apalagi hanya sekedar menunggu hujan reda sambil menikmati kopi hangat yang dijajakan Hari dengan sepeda onthel-nya yang khas.

Kalian tidak akan mendapati orang-orang di sana dalam keadaan diam. Semua serba bergerak cepat, bergerak dinamis. Dinamis? Tunggu, bukankah banyak yang bergerak cepat untuk rutinitas yang sama? Dan bukankah setiap gerak dengan rutinitas yang sama lebih tepat dikatakan sebagai gerak statis? Semua bergerak cepat, tapi statis? Bukankah begitu?

Ah, lagi-lagi entahlah. Yang jelas, jika kalian mampir di halte jalan itu tidak akan kalian dapati orang-orang dalam keadaan diam. Kalaupun diam, kalian akan lihat mereka khusyuk membaca buku-buku motivasinya, atau entah mengerjakan apa dengan laptop mini-nya, barangkali juga sibuk dengan henpon atau blackberry­-nya.

Untuk yang terakhir itu, kalau tidak untuk kepentingan bisnis, ya sekedar untuk update status, berbagi cerita tentang rutinitas dan menuangkan segala keluh kesah di situs jejaring sosialnya. Sesibuk dan sekuat apapun manusia itu, bukankah perlu juga waktu untuk berbagi cerita? Jika dapat, juga berkeluh kesah?

“Lebih bijaksana menjaga kemampuan untuk menikmati hidup seutuhnya daripada memupuk uang,” tulis seseorang dalam status fesbuknya, mengutip salah satu kalimat dalam buku yang dibacanya sambil menunggu hujan reda di halte itu.

Entah–lagi-lagi entah—apakah  orang itu benar-benar memahami makna dari kata-kata yang dituliskannya atau tidak. Kalau kalian coba mengunjungi dinding fesbuknya, banyak sekali kutipan kata-kata bijak dari tokoh-tokoh terkenal sepanjang abad peradaban manusia.

Di halte jalan itu, Hari masih terus memandangi wajah-wajah yang sedikit basah oleh tetesan hujan. Tak lupa ia berikan senyum pada mereka yang tak sengaja bertemu muka, bertatap mata. Tapi, senyum tak selalu berbalas senyum. Salam pun bisa jadi tak terbalas. Kalau kalian berikan senyum, bisa jadi mereka malah menunduk, memandangi layar henpon atau blackberry-nya. Entah tombol-tombol apa saja yang mereka pijit dengan kedua jempolnya. Mungkin saja mereka memijit tombol titik dua lalu kurung tutup--:)--untuk membalas senyum Hari yang ramah itu. Siapa tahu?

“Haaahhhhh….. Ujan lagi, macet lagi… beteee…..!!!!” Seorang lainnya mengeluh dalam fesbuknya. Tapi tidak ada satu orang pun di sekitarnya yang tahu kalau ia sudah sebegitu beteeenya dengan keadaan itu. Yang jelas terlihat, wajahnya memang selalu tunduk memandangi layar henpon made in China yang di dalamnya terdapat fasilitas untuk fesbukan dan chatting.

“Halah, pake ujan lagi… batal deh ketemuan…..”

“Menunggu hujan reda, menikmati segelas kopi hangat…..”

“Ya Tuhan, cepat reda dong ujannya…..”

“Hujan=Banjir dan macet. Gimana nih kinerja yang ngaku ahlinya???” Tulis seorang yang lainnya, kali ini tidak di fesbuk, tapi di twitter.
Baca selengkapnya »

Label:

Rabu, 17 November 2010

Qurban Menjangan

Seiring dengan terbenamnya matahari maka rezim cahaya merah di ufuk barat perlahan-lahan digulingkan tirani hitam kelabu. Ahmad menyaksikan sedikit permainan kekuasaan Tuhan yang cukup menawan itu, pergantian warna langit dari merah keemasan menuju hitam kelabu, senjakala. Usai senjakala, pada gelap malam yang sempurna, biasanya muncul berjuta bintang yang terlihat berwarna biru. Tapi, tetap saja bulan yang sendiri kadang lebih indah dengan cahaya kuningnya.

AHMAD biasa menyaksikan semua itu dari atas bukit yang tak jauh dari belakang rumahnya. Matanya kadang-kadang terasa sakit setelah menyaksikan keindahan cahaya senja. Ah, bukankah memang keindahan dan rasa sakit sering datang bergilir bagi penduduk kampung. Entah yang mana yang akan datang lebih dahulu, tak pernah terlalu mereka risaukan, tak pernah terlalu disikapi berlebihan. Sebagaimana mereka tak pernah mengeluh lelah ketika mesti mengolah tanah berbulan-bulan, dan tak juga terlalu bergembira ketika masa panen tiba. Semua disikapi sewajarnya saja, sederhana saja. Karena itu pula Ahmad tak pernah mengeluh soal sakit matanya.

Setelah puas menyaksikan rutinitas alam di sore hari yang selalu diiringi dengan suara bedug yang bergema ke seluruh penjuru kampung, Ahmad segera bergegas menuruni bukit. Disusurinya jalan setapak menuju masjid tempat ia biasa mengerjakan sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Waktu sholat berjamaah bagi Ahmad adalah waktu yang sangat menyenangkan. Selain ramai dengan penduduk kampung yang berkumpul setelah seharian berada di ladang dan sawah, usai sholat berjamaah ia juga dapat bermain-main dengan teman sebayanya. Tetapi, seringkali anak-anak bermain-main tanpa tahu waktu. Membuat orang-orang tua menjadi jengkel karena merasa kekhusyukan ibadahnya terganggu oleh canda yang dibuat oleh anak-anak saat sholat sedang berlangsung.

Sebelum sampai masjid, di bawah bukit di tepi sawah yang diolah oleh guru mengajinya, Ahmad berhenti untuk menyucikan dirinya dengan air segar yang mengucur dari potongan bambu yang ditancapkan di tanah, di dinding parit yang lebih tinggi di sisi timur persawahan. Ahmad lebih senang berwudhu di tempat itu daripada di masjid. Menurutnya, airnya lebih jernih dan lebih menyejukkan dibandingkan dengan air yang terdapat di masjid yang kadang sudah bercampur lumpur dan buangan air kumur para jamaah yang berwudhu di sana. Selain itu, ia bisa lebih bebas karena berada di ruang terbuka dan tak ada orang-orang tua yang akan segera mengusirnya kalau ia justru asyik bermain-main air bersama teman-temannya saat berwudhu.

Angin bertiup lebih kencang sore itu. Gesekan daun-daun dan bulir padi yang belum berisi bersaing dengan jeritan jangkrik dan nyanyian katak di tengah sawah. Kaki Ahmad yang terakhir dibasuh gemetar kedinginan. Badannya yang kurus pun ikut bergetar, juga menggigil kedinginan. Tak menyerah dengan dingin, buru-buru ia berbalik menantang arah datangnya angin. Menghadapkan badan ke arah kiblat, membiarkan wajah tersapu angin. Ia angkat kedua tangannya, ditengadahkannya kepala ke langit, sambil mulutnya terus komat-kamit melafalkan do’a setelah wudhu yang diajarkan guru mengajinya beberapa bulan lalu saat ia mulai belajar sholat.

Langit yang hitam tanpa warna kemerah-merahan dan kilatan cahaya menimbulkan garis senyum di bibir Ahmad yang sedikit-sedikit masih komat-kamit dengan do’a wudhunya. Ahmad yakin malam itu akan cerah, akan ada banyak waktu untuk bermain-main dengan teman-temannya. Ia yakin tak akan datang hujan deras yang disertai petir seperti malam-malam sebelumnya. Apalagi bulan sabit di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah juga bersinar terang tanpa terhalang awan ataupun kabut yang sering muncul dari atas pegunungan.
Baca selengkapnya »

Label:

Jumat, 12 November 2010

Mengembangkan Masyarakat Melek Media

Tulisan ini dibuat dengan maksud menjadi tinjauan kritis terhadap dampak media massa terhadap masyarakat, khususnya para remaja, serta bagaimana cara mengatasinya.
***

Saat ini, masyarakat semakin dimanjakan dengan berbagai produk media massa, mulai dari mainstream media seperti koran, majalah, televisi, dan radio, hingga kehadiran new media yaitu internet atau yang sekarang dikenal sebagai online media.
Kehadiran berbagai media massa tersebut tak lepas dari perubahan yang terjadi di tingkat global. Era globalisasi telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk semakin mudah mendapatkan informasi sekaligus hiburan dari berbagai tempat.
Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah seringkali ketersediaan informasi yang melimpah tersebut tidak diikuti dengan kemampuan untuk menyaring atau memfilter. Sehingga, muncul apa yang disebut dengan ‘kekagetan budaya’ (culture shock).
Kekagetan budaya atau gegar budaya, menurut Tatang Mutaqqin (2006), terjadi karena adanya keinginan dan konsumsi berlebihan akan produk hasil kemajuan teknologi dimana kurang dipahami oleh pengguna itu sendiri.
Dalam diri masyarakat (pengguna), akses media yang sangat luas ini layaknya dua sisi mata uang. Sisi pertama, media sebagai sumber informasi, pengetahuan, dan hiburan bagi masyarakat. Di sisi lain, media massa juga membawa dampak negatif  ketika sajian-sajian mereka ternyata membawa nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat.
Misalnya saja, media audio visual yang lazim kita kenal dengan sebutan televisi. Saat ini,  televisi menyajikan bermacam  program, baik yang bersifat informatif, edukatif, hingga to entertain (menghibur). Akan tetapi, sebagian besar program siaran yang ditayangkan lebih banyak to entertain yang tidak mendidik dan jauh dari realitas sosial masyarakat kita. Sinetron misalnya, selalu mengetengahkan kemewahan yang tidak dimiliki masyarakat kebanyakan. Kehidupan yang ideal tersebut sebagian besar ditampilkan pada tayangan televisi kita setiap harinya.
Sebagai industri budaya, televisi memberikan imbas media yang besar bagi kehidupan masyarakat. Kehadirannya baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat Indonesia dengan banyaknya tayangan televisi yang hanya memunculkan keserakahan dan kemudahan hidup, yang bukan merupakan realitas sosial masyarakat penontonnya (Wirodono, 2005).
Kelompok masyarakat yang paling besar terpengaruh adalah kaum remaja, dimana gaya hidup mewah ditandai dengan perilaku hedonis, materialistis yang dapat mendorong perilaku seenaknya dan egois pada diri remaja.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari media massa ini adalah dengan cara memberikan edukasi kepada kelompok masyarakat tersebut mengenai bagaimana mengonsumsi media secara cerdas.
Tentu ada beragam cara untuk mengurangi dampak negatif media massa. Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memberikan serangkaian regulasi berlandas semangat mengatur (to regulate) bukan mengontrol (to control) kehadiran media massa di tengah masyarakat.
Namun demikian, seringkali lembaga-lembaga tersebut dalam prakteknya menemui kendala dengan superioritas owner media massa dan juga kekuatan pengiklan. Dengan kata lain, media massa menjelma menjadi alat kapitalis dan mereka selalu berlindung di balik jargon kebebasan informasi atau the freedom of the press.
Baca selengkapnya »

Label:

Kamis, 11 November 2010

Menciptakan Suasana Kelas Yang Menyenangkan

Jum’at, 05 November 2010

I have come to  a frightening conclusion. I am the decisive element in the classroom. It is my personal approach that creates the climate. It is my daily mood that makes the weather.” (Haim Ginott)
Dan saya pun mengalaminya hari ini.
Tepat pada pukul 10.00 saya memasuki kelas. Masih tampak riuh dengan obrolan-obrolan mereka sehabis praktek di laboratorium analis kesehatan. Beberapa ada yang menjawab salam saya dan memberikan senyum manisnya.
Saya berdiri di depan di tengah kursi-kursi yang terbagi menjadi dua kubu dan menyapa mereka. Seperti biasa saya awali dengan menanyakan kabar dan berkata “I hope, all of you on a better day than yesterday. And let’s start our class!”.
Hari ini, saya ingin membuat suasana belajar lebih ceria. Lebih bersemangat. Saya tidak ingin mengajar dengan cara konvensional, kaku dan membosankan. Saya ingin memberikan materi kuliah hari ini dengan mengajak mahasiswa saya bermain kata.
Saya meminta mereka untuk membagi menjadi empat kelompok lalu saya sampaikan aturan mainnya. Sederhana saja, kata saya. Pertama, saya menuliskan satu kata di papan kemudian mereka menyusun menjadi sebuah kalimat yang panjang. Awalnya saya memilih satu orang di masing-masing kelompok untuk menjadi speaker yang akan menyampaikan kalimatnya.
Akan tetapi, cara itu sepertinya tidak efektif untuk kelas yang berjumlah kurang lebih 40 orang ini. Mereka kesulitan mentransfer kalimat kepada speakernya karena jarak tempat duduk siswa (anggota) dengan speakernya belum tentu bersebelahan atau dekat. Jadi, saya putuskan untuk tidak ada speaker. Siapa saja yang mempunyai ide kalimat panjang yang di dalamnya termasuk kata yang saya tulis di papan, maka mereka boleh langsung mengacungkan tangan dan berbicara. Baru nanti apabila bentuk kalimatnya tepat dan memenuhi syarat, mereka berhak mendapatkan poin di kelompoknya.
Suasana kelas menjadi sangat ramai dan terdengar suara bersahut-sahutan “Miss, group A”, “group B, Miss”, “group C”, “group D, Miss” sambil mengacungkan tangan mereka tinggi-tinggi. Setelah beberapa kata saya tulis di antaranya imagination, beautiful lady, university,dll. Akhirnya yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak adalah group B. Congratulation, guys!
Sambil melanjutkan pelajaran hari itu, saya berkata dalam hati bahwa memang untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan harus dimulai dari diri kita sebagai pengajar yang menyenangkan juga. Dan kebahagiaan saya pun bertambah ketika melihat semangat mereka untuk bertemu dengan saya lagi pekan depan. (author: dinda dinar gumilang)

Label:

Hidup Senang dan Terhormat: Sanggar Belajar dan Anak-Anak Jalanan

Saat membuka-buka kembali buku yang tersimpan lama di lemari perpustakaan pribadi, saya temukan satu kalimat yang lumayan mengusik pikiran, “ Siapa yang tidak ingin hidup dengan senang dan terhormat?”. Pertanyaan itu mengantarkan saya untuk sedikit merenungi kembali keadaan diri dan lingkungan sekitar tempat saya “berada”.
Sebagian besar orang mungkin merasakan bahwa di tengah kehidupan kota yang makin keras ini, tiap-tiap orang merasa pemenuhan kebutuhan untuk hidup senang dan terhormat makin sulit. Paling tidak, kebutuhan hidup di kota semakin membutuhkan biaya yang tinggi. Akan tetapi, apakah hidup senang dan terhormat semata-mata dari pemenuhan materi saja?
Dalam beberapa kali kunjungan ke sanggar-sanggar belajar ataupun taman bacaan yang didirikan oleh komunitas-komunitas yang fokus pada penanganan permasalahan sosial, terutama masalah anak jalanan, saya menemukan pandangan yang lain terkait dengan hidup senang dan terhormat tadi.
Biasanya anak-anak jalanan yang berkumpul dan bergaul di sanggar-sanggar belajar terlihat cukup senang, cukup riang. Mereka juga dicontohkan untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling melindungi sesamanya. Melihat keadaan yang seperti itu, saya berasumsi bahwa barangkali akan mudah untuk menciptakan kondisi ideal yang akan memperkuat karakter anak jalanan untuk hidup lebih baik. Saya mencoba membuat kesimpulan awal bahwa kehidupan keras yang mereka hadapi sehari-hari membuat mereka membutuhkan semacam perlindungan, tempat bernaung, dan hiburan yang dapat meringankan beban permasalahan mereka. Mereka juga membutuhkan semacam kebutuhan untuk berafiliasi.
Keberadaan sanggar-sanggar belajar jadi semakin penting untuk pemenuhan kebutuhan non-materi (disamping pemenuhan materi) anak-anak jalanan yang semakin meningkat jumlahnya. Soal hidup senang dan terhormat, kesenangan dan kehormatan dapat mereka rasakan di antara mereka sendiri, dalam komunitas kecil mereka, dalam afiliasi di antara mereka yang difasilitasi oleh relawan sanggar-sanggar belajar. Di tempat itu, mereka bisa melupakan soal pandangan lain yang menghinakan mereka.
Kemudian, dari hal tersebut, muncul keinginan untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana anak-anak jalanan di kota tempat saya tinggal dalam memanfaatkan sanggar-sanggar belajar yang perananannya seharusnya juga bisa dilakukan oleh perpustakaan daerah. Tapi, adakah layanan bagi anak jalanan di perpustakaan daerah? Saya kira belum. Kalaupun ada, belumlah banyak jumlahnya. Padahal, sanggar-sanggar belajar dan taman bacaan yang melayani anak jalanan memiliki kesamaan fungsi dari keberadaan perpustakaan dalam menumbuhkan minat baca, transfer pengetahuan dan penyebaran informasi (fungsi pendidikan), fungsi agen perubahan sosial, dan fungsi rekreasi. Saya jadi ingin melakukan penelitian soal masalah ini.
Sekedar menggambarkan pemanfaatan sanggar-sanggar belajar oleh anak jalanan sepertinya tidak membutuhkan penelitian yang mendalam. Namun, ada hal-hal yang ingin lebih dalam lagi untuk saya ketahui. Untuk itu, saya pun mulai melakukan kontak lebih sering lagi dengan anak jalanan dan pihak sanggar belajar. Agar dapat melihat permasalahan-permasalahan lain dengan lebih mendalam. Tentunya yang terkait dengan topik awal tadi dan yang paling mungkin juga yaitu terkait pula dengan keilmuan yang saya telah pelajari, Ilmu Perpustakaan.
Dalam kontak yang lebih sering itu, saya mulai mendapati beberapa masalah yang cukup penting untuk kelangsungan sanggar belajar dan tujuan dari sanggar belajar itu sendiri. Masalah yang muncul antara lain bagaimana sebenarnya persepsi anak jalanan terhadap sanggar belajar, khususnya untuk kegiatan yang semacam layanan perpustakaan? Bagaimana pula sikap dan respon mereka atas pelayanan, atau lebih tepatnya perlakuan, relawan sanggar belajar tersebut terhadap mereka?
Pengetahuan mengenai persepsi, sikap, dan respon anak jalanan terhadap sanggar belajar tentunya sangat penting agar sanggar belajar benar-benar mengerti apa yang telah dilakukannya selama ini. Sudah sesuaikah dengan tujuan yang mereka tetapkan dari keberadaan sanggar bagi anak jalanan? Atau justru sangat jauh dari kata berhasil. Jika memang terlaksana, hasil penelitian ini tentunya diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak sanggar belajar dalam menjalankan kegiatannya ke depan. Terlebih terhadap pelayanan atau perlakuan yang mereka berikan terhadap anak jalanan. Sebagian kecil manusia yang juga ingin hidup dengan senang dan terhormat. (author: saca firmansyah)

Label:

Selasa, 09 November 2010

Emang belajar kudu di sekolah ya, Bang?

Seorang anak jalanan, atau lebih tepatnya pedagang asongan usia kanak-kanak, ditanya oleh seorang teman mahasiswa tentang pendidikannya, atau lebih tepatnya soal mengapa ia tidak sekolah hari itu.
“Prul, kenape lo kagak sekolah?” tanya mahasiswa.
“Kenape gue harus sekolah Bang?” jawab sang anak.
“Ya belajar, Prul.. Masa di sekolah lo ngebersihin comberan yang pada mampet,” kata mahasiswa.
“Emang belajar kudu di sekolah ya Bang?” tanya sang anak.
“Ya kagak juga sih, tapi kan dengan sekolah lo bakalan dapet banyak pengetahuan di sana, pendidikan yang lebih baik buat masa depan lo..” jawab mahasiswa untuk meyakinkan anak itu agar mau bersekolah.
“Pendidikan? Jaminan masa depan? Apa kite kayak kagak lagi berjudi dengan itu semua Bang?" sang anak kembali bertanya. Mahasiswa itu terdiam. Sang anak pun melanjutkan lagi keragu-raguannya soal pentingnya bersekolah.
"Seiring perjalanan waktu kita juga bakalan dapet pengetahuan yang memang harus kita tahu bukan? Emak gue selalu bilang oleh banyak orang pengetahuan yang kita dapet itu disebut pengalaman. Nah, kata Bapak gue oleh banyak orang pengalaman dianggap sebagai guru terbaik."
Mahasiswa itu benar-benar terdiam. Dalam pikirannya, pengalaman memang guru terbaik. Tapi bukankah kita bisa dapatkan pengalaman dari banyak orang dengan belajar dari banyak buku tentang pengalaman-pengalaman, eksperimen-eksperimen banyak orang yang berhasil maupun yang gagal dalam mengungkapkan masalah, menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Mahasiswa itu tak ingin mengungkapkan pikirannya pada anak itu. Ia ingin lebih banyak mendengar saat itu. Sang anak pun melanjutkan penjelasannya.
"Abang lebih percaya mana, Sekolahan atau Tuhan yang mengajarkan kita lewat pengalaman-pengalaman di jalan kehidupan yang kita pilih? Gue lebih percaya masa depan dan rejeki itu di tangan Tuhan, Bang... Bukan di Sekolahan. Dan gue kagak suka ngebuang-buang waktu di bangku sekolahan. Apalagi sampai terlibat tawuran, seks bebas, dan narkoba. Yang semuanya itu lebih banyak dilakukan oleh anak-anak sekolahan. Gue yakin dengan masa depan gue yang lebih baik esok, walaupun tanpa perlu duduk di bangku sekolahan. Bagaimana dengan Abang?”
Mahasiswa itu lagi-lagi hanya ingin diam dan mendengarkan. Dia begitu mengagumi gaya sang anak dalam mempertanyakan sebuah bangunan kemapanan berpikirnya. Bisa saja ada perdebatan. Tapi siapa dia? Siapa Dia?
Hari semakin panas. Akhirnya anak itu mesti terus berjalan, menjajakan dagangannya. Mahasiswa itu juga melanjutkan perjalanannya. Waktu memang benar-benar berjalan. Mahasiswa itu mendapatkan pengalamannya hari ini, bahwa manusia yang unik dan dinamis itu tidak mungkin dapat dikotak-kotakan dalam satu sistem berpikir yang mapan. Karena, barangkali dan jika manusia terjebak dalam satu kotak kemapanan berpikir barangkali hanya akan ada stagnasi di dalamnya. Maka cara berpikir kita tentang apa yang logis dan tidak logis pun bukan sesuatu yang dengan sendirinya benar, karena bahkan logika pun sebenarnya dipengaruhi oleh apa yang kita pelajari. Salah satunya oleh 'rezim' pendidikan formal yang 'menjajah' kita selama ini, barangkali. (author: saca firmansyah)

Label: ,

Minggu, 07 November 2010

LATIHAN: Menyekolahkan Kembali Masyarakat?*

Oleh: Russ Dilts

“Anda melatih binatang, Anda mendidik manusia!”
Begitu ucap pepatah lama. Tetapi, binatang tidak biasa mengikuti lokakarya atau penataran, sementara kita sibuk dalam banyak kegiatan yang umumnya disebut sebagai kegiatan latihan (training). Bagi kaum awam, arti kata latihan biasanya diartikan sebagai kegiatan latihan berolah raga atau kegiatan fisik lainnya. Bagi kaum terpelajar, terutama yang berkecimpung dalam kegiatan pengembangan masyarakat, kegiatan latihan diartikan sebagai suatu inti proses pengembangan sumber daya manusia. Bagi kalangan lainnya lagi, perbedaan pengertian antara latihan dengan pendidikan sering dikaburkan, atau malah digabungkan saja menjadi “pendidikan dan latihan” (diklat). Secara umum, latihan lebih diartikan sebagai suatu kegiatan yang menunjang berbagai fungsi atau peranan tertentu dalam masyarakat, seperti para perwira yang menerima latihan militer, atau para pegawai yang disuruh mengikuti “latihan jabatan” (on the job training).

DIMANA-MANA LATIHAN
Setiap orang dalam hidupnya pernah melatih atau dilatih. Bayi-bayi (orang Barat) dilatih “ber-WC” (toilet training), biarawan Budha melakukan latihan spiritual, para pejabat memberi dan menerima latihan kepemimpinan, para petugas lapangan mengikuti latihan penyuluhan, dan sebagainya.
Latihan merupakan suatu usaha yang besar dan luas, karena itu perlu mendapatkan perhatian kita. Sementara di Indonesia kini terdapat lebih dari sejuta pelajar beramai-ramai berebut tempat masuk ke berbagai perguruan tinggi, sementara itu pula akan terdapat lebih banyak lagi orang dewasa yang akan mengikuti berbagai jenis latihan. Di pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan, latihan-latihan pra-jabatan, manajemen, penyegaran tugas-tugas, dan latihan jabatan, masih terus berlangsung. Pada lembaga-lembaga pembangunan dan pemerintahan, komponen latihan selalu masuk dalam setiap proyek yang diusulkan. Lembaga swasta menawarkan banyak latihan khusus, sementara kantor-kantor dan birokrasi menyelenggarakan latihan “peningkatan” (up-grading), serta media massa melaksanakan latihan jarak jauh. Kita semua pun terjangkau oleh kegiatan latihan: orang-orang yang “putus sekolah” memperoleh latihan ketrampilan; para calon transmigran mendapatkan latihan pertanian; para ibu rumah tangga memperoleh latihan jahit-menjahit dan cara merawat bayi; para petani terlantar memperoleh latihan pemasaran; para pemuka masyarakat menerima latihan kepemimpinan; para bekas narapidana mengikuti latihan penyesuaian diri kembali ke masyarakat; kader-kader desa dilatih teknik-teknik pengembangan masyarakat; dan, last but no least, para pelatih atau pemandu latihan sekalipun masih tetap mengikuti “latihan untuk pelatih”. Demikian seterusnya.

MENGATASI PERUBAHAN
Kita akan terus mengahadapi perubahan. Dan, perubahan itu akan menuntut pula perubahan diri kita sendiri. Jadi, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa kini dan masa mendatang akan menjadikan kita sebagai peserta latihan seumur hidup. Kita harus berubah dan berubah untuk mengatasi perubahan. Dengan demikian, perubahan (change) tersebut merupakan alasan dan sekaligus tujuan dari semua kegiatan latihan.
Dulu, generasi muda dididik dan dilatih oleh orang tua mereka atau oleh mesyarakat di tempat lain. Dengan cara ini, mereka dibekali pengetahuan dan ketrampilan agar mereka dapat mengisi peran tertentu dalam masyarakat yang biasanya merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Sampai sekarang pun, masih banyak nama orang keturunan Inggris, yang mencerminkan warisan pekerjaan atau peranan yang dilakukan oleh orang tua dan kakek-kakek mereka, misalnya Taylor (penjahit), Smith (pandai besi), Cooper (pembuat drum), Weaver (penenun), Cook (tukang masak) Baker (tukang kue), dan sebagainya. Jika tak ada guncangan besar seperti perang atau bencana alam, proses pewarisan peranan tersebut dapat berjalan ajeg dari generasi ke generasi berikutnya.
Lalu, tibalah masa revolusi industri dimana para petani dan pengrajin dihadapkan pada suatu perubahan besar dalam pola hidup mereka yang semula. Dahulu, para petani bekerja menurut musim dan keadaan sekitarnya. Sekarang, revolusi industri telah merubah mereka menjadi buruh-buruh pabrik dengan pola kerja yang didasarkan atas perintah para mandor dan tuntutan produksi demi memenuhi kebutuhan pasaran bebas. Bukan hal kebetulan kalau pendidikan massal mulai dilaksanakan bersamaan dengan kemunculan lokasi-lokasi pabrik yang membutuhkan tenaga kerja trampil dan terlatih, yang dapat duduk diam selama sekian jam sehari di depan mesin-mesin, demi mendapatkan nafkah hidup sehari-hari.
Sistem lembaga pendidikan formal (sekolah) tak berdaya mengikuti arus perubahan ini, dan pada gilirannya bentuk pendidikan massal yang lebih terkhususkan (specialized) tumbuh menjamur, dalam bentuk latihan-latihan atau kursus-kursus. Manfaat, keluasan serta kehadiran latihan sebagai suatu mekanisme sosial, paling sedikit menuntut upaya kita untuk menguji dan membuat semacam gambaran perkembangannya sampai saat ini.
Baca selengkapnya »

Label:

Jumat, 05 November 2010

Penyadaran dan Pembebasan: Perkenalan Singkat dengan Filsafat Pendidikan Paulo Freire

Ahli-ahli ilmu sosial, terutama pada pendidik, akhir-akhir ini banyak mengutip dan mengkaji buah pikiran dan hasil karya Paulo Freire. Dua buah bukunya, yakni Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Opressed, Penguin Books, 1978; edisi Indonesia diterbitkan oleh LP3ES, 1985), dan Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan (Cultural Action for Freedom, Penguin Books, 1977), adalah dua buah karya Freire yang paling sering dikutip sehingga telah menjadi bacaan klasik dalam kepustakaan ilmu sosial saat ini. Kedua buku tersebut menjadi bahan dasar makalah singkat ini.
Kekuatan yang menjadi daya tarik utama Freire adalah kejujurannya untuk menyatakan, tanpa tedeng aling-aling, kondisi kemanusiaan kita saat ini yang telah sedemikian rupa rapuhnya dimana kita sendiri justru sering bersikap tidak manusiawi menghadapinya. Sama seperti rekan-rekannya para pemikir pembaharu Amerika Latin, Freire telah lahir dan tampil dengan suara lantang menyatakan sikapnya terhadap kenyataan sosial yang ada, dan gaya seperti itu umumnya memang selalu menarik.
Tetapi kekuatan Freire yang sesungguhnya terletak pada kekuatan pemikiran yang menukik langsung pada pokok-pokok persoalan dengan bahasa pengucapan yang sederhana, sehingga para pemerhati filsafat tingkat pemula atau orang awam sekalipun akan cukup mudah untuk memahaminya. Freire mempu menjabarkan pemikiran-pemikiran filsafat yang bertakik-takik (sophisticated) ke dalam aktualisasi masalah-masalah kehidupan keseharian serta tuntutan-tuntutan praktis abad mutakhir saat ini, terutama dalam bidang pendidikan dalam kaitannya dengan seluruh ikhtiar pembangunan nasional yang menjadi “cultural focus” dunia kita saat ini. Berbeda dengan banyak pendahulunya, Freire tidak berhenti dan selesai pada besaran-besaran pemikiran dan perdebatan terminologis yang tidak perlu, tetapi langsung menerapkan dan melakukan gagasannya sendiri dalam suatu rangkaian program aksi yang cukup luas, terutama di Chili dan di negara kelahirannya sendiri di Brazilia. Inilah kekuatan Freire, yang pada tingkat tertentu mungkin saja menjadi kelemahannya sekaligus.

MANUSIA DAN DUNIA: PUSAT MASALAH
Filsafat Freire bertolak dari kenyataan bahwa di dunia ini ada sebagian manusia yang menderita sedemikian rupa sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain, justru dengan cara-cara yang tidak adil. Dalam kenyataannya, kelompok manusia yang pertama adalah bagian mayoritas umat manusia, sementara kelompok yang kedua adalah bagian minoritas umat manusia. Dari segi jumlah ini saja keadaan tersebut sudah memperlihatkan adanya kondisi yang tidak berimbang, yang tidak adil. Inilah yang disebut oleh Freire sebagai ”situasi penindasan”.
Bagi Freire, penindasan, apapun namanya dan apapun alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi ini bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in The Culture of Silence).1 Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi manusia sesamanya.
Karena itu tidak ada pilihan lain, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) adalah pilihan mutlak. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, namun ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidaklah mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menjadi suatu keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk mengubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Inilah fitrah manusia sejati (the man’s ontological vocation).
Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau yang mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti atau mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis”2-nya ia merubah dunia dan realitas. Karena itulah manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki naluri, tapi juga memiliki kesadaran (consciousness). Manusia memiliki kepribadian, eksistensi. Ini tidak berarti manusia tidak memiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit-situations) yang mengekangnya. Jika seseorang yang menyerah pasrah pada situasi batas itu, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, maka sesungguhnya ia tidak manusiawi lagi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator) sejarahnya sendiri. Dan, karena seseorang hidup di dunia dengan orang-orang lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses “menjadi” (becoming) yang tak pernah selesai. Ini bukan sekedar adaptasi, tapi integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, menjadi bebas. Ini adalah tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Humanisasi, karenanya adalah juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian, maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.
Baca selengkapnya »

Label:

Rabu, 03 November 2010

Andragogi: Sebuah Konsep Teoritik*

Kita hidup dalam suatu abad yang penuh dengan perubahan-perubahan cepat, suatu abad penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan, teori-teori dan metoda serta permasalahan baru dan pemecahannya. Alvin Toffler telah memperingatkan kita bahwa peningkatan dan kemajemukan kehidupan abad kita ini telah pula meningkatkan dan menghasilkan banyak kegoncangan budaya dan pemilikan yang luar biasa. Oleh karena itu, kita harus menemukan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan kita dalam memilih secara cepat dan tepat yang benar-benar menjadi keinginan dan kebutuhan kita. Kita harus belajar bagaimana membuat berbagai keputusan dan melaksanakannya, dalam kaitannya dengan orang-orang lain yang dipengaruhi oleh keputusan itu. Keadaan ini telah melahirkan pertanyaan akan tujuan pendidikan dalam rangka pengembangan sumberdaya manusiawi kita.

PERUBAHAN TUJUAN PENDIDIKAN
Umumnya teori pendidikan didasarkan pada anggapan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengalihkan keseluruhan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Asumsi ini menyiratkan dua hal, yakni: (1) bahwa jumlah pengetahuan cukup sedikit untuk dikelola secara menyeluruh oleh sistem pendidikan; dan (2) bahwa kecepatan perubahan yang terjadi dalam tata-budaya atau masyarakat cukup lamban sehingga memungkinkan untuk menyimpan pengetahuan dalam kemasan tertentu serta menyampaikannya sebelum pengetahuan itu sendiri berubah. Kedua keadaan tersebut sudah tak berlaku lagi di abad modern saat ini. Sekarang kita hidup dalam jaman peledakan pengetahuan yang menimbulkan perubahan-perubahan sedemikian cepat. Kecepatan dan banyaknya perubahan dalam masyarakat tersebut telah menimbulkan pertanyaan yang meragukan “teori pengalihan pengetahuan” melalui pendidikan.
Daripada sekedar mengalihkan semua yang kita ketahui, maka barangkali tujuan kita yang sesungguhnya adalah menumbuhkan dorongan dalam diri peserta didik keinginan untuk melakukan proses penemuan sepanjang hidupnya terhadap apa saja yang memang dibutuhkannya untuk diketahui.
Jika rumusan terakhir ini disetujui, maka ada dua konsekuensi yang akan menyertainya. Pertama, pendidikan tidak lagi merupakan sebuah kegiatan yang terutama diperuntukkan bagi kanak-kanak. Kedua, tanggung jawab untuk menetapkan apa yang harus diajarkan dan yang akan dipelajari beralih dari tangan guru ke tangan murid. Pendidikan, sebagai suatu proses seumur hidup, dengan demikian akan mampu memenuhi kebutuhan kita dan pengalaman kita yang juga terus berubah.
Pertimbangan lain yang mempengaruhi pendapat bahwa pendidikan adalah kegiatan yang berkelanjutan terus sesudah masa kanak-kanak, adalah: 

a. Bahwa hidup itu sendiri adalah pengalaman pendidikan.
    Confusius pernah menekankan pentingnya arti belajar dari pengalaman ketika ia menyatakan:

    “saya dengar dan saya lupa”

    “saya lihat dan saya ingat”

    “saya lakukan dan saya paham”
    Pernyataan ini berarti bahwa pemahaman dan pengetahuan secara langsung memang berkaitan dengan kehidupan dan pengalaman keseharian. Pendidikan sebagai suatu proses seumur hidup dengan demikian berlangsung sepanjang kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar. Proses itu tidak selesai setelah tamat sekolah. Setiap yang kita lakukan selalu mengandung unsur belajar. Apa yang kita pikirkan dan lakukan di masa lalu dan apa yang kita lakukan pada saat ini serta apa yang kita rencanakan untuk masa mendatang, semuanya menunjukkan proses belajar dengan cara melakukannya sekaligus. Mungkin saja kita tidak melihat hal itu sebagai “pengalaman belajar” atau sebagai suatu situasi belajar, justru karena pemahaman kita telah dibatasi oleh pandangan yang sempit bahwa pendidikan identik dengan sekolah. Dalam kenyataannya, kita sesunngguhnya belajar setiap saat. Oleh karena itu apa yang kita butuhkan adalah suatu proses pendidikan yang dapat membantu kita menghasilkan pengetahuan dari situasi kehidupan yang kita alami dalam kegiatan sehari-hari. Belajar dari pengalaman kehidupan, karenanya, merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang dewasa pada saat ini. 
    Baca selengkapnya »

    Label:

    Senin, 01 November 2010

    Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perpustakaan

    Pada beberapa perjalanan yang penulis lakukan di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak akhir 2004 hingga akhir 2008, telah banyak usaha-usaha dari berbagai pihak dalam mengupayakan pembangunan perpustakaan dengan tujuan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat. Di Aceh pasca tsunami, pembangunan perpustakaan di daerah yang dekat dengan pemukiman korban bencana tsunami marak didirikan. Baik oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerjasama dengan perusahaan, departemen atau lembaga pendidikan dan ilmiah, organisasi kemahasiswaan dalam program pengembangan masyarakat dan kuliah kerja nyata (KKN), maupun oleh pemerintah daerah dan pusat. Di daerah lainnya, seperti di Bandung, Serang, dan Yogyakarta pembangunan perpustakaan juga marak dilakukan mulai dari pemukiman padat penduduk di daerah perkotaan hingga di daerah pedesaan. Di Jakarta dan Jawa Barat, pengembangan perpustakaan di daerah pemukiman yang jauh dari perpustakaan umum didukung oleh Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda). Namun demikian, tidak semua wilayah dapat dijamah oleh Perpumda. Partisipasi masyarakat tetap diperlukan untuk pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan.
    Dalam pembahasan mengenai perpustakaan umum, Sulistyo Basuki (1994: 35-44) menjabarkan bahwa sejak tahun 1950-an pembangunan perpustakaan di Indonesia telah marak didirikan, termasuk perpustakaan di desa-desa. Akan tetapi, hasilnya “seperti yang dirasakan dan dilihat dalam masyarakat sekali lagi membuktikan bahwa perpustakaan desa belum berfungsi secara maksimal” (Sutarno NS, 2008: 132). Dari beberapa perpustakaan yang dibangun ada yang kemudian redup penyelenggaraannya dan bahkan mati. Soal hambatan dalam perkembangan perpustakaan, Blasius Sudarsono ( 2006: 8 ) menyatakan:
    "Alasan klasik antara lain disebut bahwa membaca belum membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. Apresiasi masyarakat akan bahan bacaan masih perlu ditingkatkan, apalagi dengan semakin mahalnya buku bagi sebagian besar masyarakat. Selain faktor dana dan tenaga, pemahaman yang benar akan pentingnya lembaga perpustakaan bagi masyarakat, juga menjadi sebab belum berhasilnya usaha pembangunan perpustakaan. Mungkin justru alasan terakhir inilah yang menjadi sebab utama dan pertama kelambatan perpustakaan mewujud sebagai lembaga yang benar-benar diperlukan keberadaannya bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia."
    Pemahaman masyarakat akan pentingnya lembaga perpustakaan sebagai lembaga pelayanan masyarakat dapat tercipta dengan baik melalui partisipasi kelompok masyarakat dalam proses pembangunan perpustakaan. Partisipasi kelompok masyarakat menjadi penting terkait dengan orientasi dari keberadaan perpustakaan dalam pelayanannya terhadap kebutuhan masyarakat pengguna.
    Baca selengkapnya »

    Label:

    Tak Ada Kesuksesan Tanpa Kesungguhan!

    Pagi hari ini, ada teman dari seorang teman yang meminta nasehat kepada saya mengenai persoalan kehidupannya. Entah mengapa saya ingin saja meladeninya, nasehat-nasehat pun keluar dari diri saya. Saya sendiri merasa bahwa nasehat itu lebih cocok untuk saya sendiri. Karena itu saya pikir dialog tadi perlu diabadikan dalam ingatan saya, dalam blog ini.
    ”Kak, menurut kakak faktor apa saja yang menentukan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan, kehidupan sosial dan kehidupan pribadi?” kata teman dari teman saya saat memulai pertanyaan. Sebut saja namanya dengan inisial ”DE”.
    Awalnya saya agak bingung. Langsung saja keluar kata-kata, ”Banyak faktor...” Setelah kalimat itu saya diam sesaat. Tak ada apapun yang terpikir. DE sepertinya sangat tak puas dengan jawaban itu. Ia melanjutkan pertanyaannya.
    ”Nah, maka dari itu. Terus?” kata DE yang tak puas dengan jawaban singkat itu. Saya sedang tidak fokus dengan jawaban dari pertanyaannya itu. Tapi tiba-tiba saja saya melanjutkan jawaban.
    ”Di dalam hidup itu ada faktor X, Y, Z dalam konstanta bilangan waktu yang kadang secara sadar atau tidak sadar membawa kita kepada kesuksesan. Yang paling penting ya sungguh-sungguh saja dalam banyak hal. Dalam beribadah dan dalam berusaha. Kadang banyak teori-teori motivasi itu nggak kita butuhkan dalam menjalani kehidupan. Yang paling penting, bagaimana menumbuhkan kesungguhan pada apa yang kita jalankan dalam kehidupan. Sederhana kok DE,” jawab saya sambil kebingungan dengan apa yang telah saya katakan sendiri. DE sepertinya sepakat dengan jawaban itu, tapi ia masih ingin ada jawaban lain keluar dari diri saya.
    ”Ok, ok.. ada lagi? Atau cukup?” kata DE melanjutkan dialog.
    ”Cukupkan sampai di situ saja dulu. Tumbuhkanlah itu kesungguhan. Gak akan ada kesuksesan tanpa kesungguhan. Bahkan, di dalam berhubungan dengan sesama. Sungguh-sungguhlah dalam mendengarkan dan menyampaikan apa-apa yang layak kita ucapkan kepada orang-orang di sekitar kita. Oke..!” kata saya menambahkan jawaban.
    ”Ok.. siiipp.. 1 lagi.. Boleh, boleh?” lanjut DE. Saya hanya mengiyakan saja.
    ”Menurut kakak, bagaimana relevansi pendidikan di sekolah dengan kesuksesan dalam kehidupan?” tanya DE. Saya seperti tak memikirkan lagi maksud pertanyaan itu, dan langsung saja menjawab.
    ”Kita lihat banyak kasus saja. Ternyata banyak juga orang sukses bukan karena dia bersekolah. Tetapi karena kesungguhan yang dibangunnya. Contoh yang paling terkenal adalah Thomas Alpha Edison, seorang yang banyak melakukan penemuan. Dia tidak bersekolah,” kata saya.
    ”Jadi sepertinya tidak ada relevansi mutlak antara pendidikan di sekolah dengan kesuksesan seseorang dalam kehidupan. Banyak kok yang sekolah tapi gagal. Mungkin karena di sekolah selama ini orang hanya mengejar ijazah, tanpa kesungguhan untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya bagi kemaslahatan bersama. Alhasil, ilmu yang didapatkan tidak menjadi berkah baginya,” lanjut saya dan menambahkan nasehat lagi, ”Kalaupun kita bersekolah, bersekolahlah dengan kesungguhan. Dengan passion. Hasrat yang baik. Nah, passion ini yang akan mengarahkan ke jalan mana yang kita tuju untuk sukses itu. Ingat, konsekuensi menuntut ilmu itu perlu diamalkan. Maka fokuslah pada ilmu yang ingin kau amalkan agar menjadi berkah kesuksesan bagi kamu. Bagaimana? Dapat diterima?”
    ”Ok, ok... jadi relevansi yang spesifik itu dalam passionnya?” tanya DE untuk menegaskan jawaban.
    ”Dalam kesungguhan kita menuntut ilmu dan mengamalkannya bagi kemaslahatan bersama umat manusia. Disitulah relevansinya, barangkali..,” tegas saya.
    ”Harus pakai barangkali ya?” tanya DE dengan agak kecewa.
    ”Ya.. ini supaya kamu juga terus melakukan pencarian yang lain. Terus memacu diri untuk mencari kebenaran lain yang akan membawa kesuksesan bagi kamu. Mungkin saja apa yang saya sampaikan ada kekurangan. Kamu cari deh yang lainnya biar mendekati sempurna dan mengukuhkan tekad kamu. Oke..” kata saya sambil memotivasinya untuk bertanya pada yang lain.
    ”Hari ini saya hanya memberikan beberapa saja: passion.. sebutlah hasrat dan juga kesungguhan.. Oke!” kata saya menutup pembicaraan.
    Setelah dialog pagi itu, saya jadi kepikiran dengan jawaban-jawaban saya. Ya, saya sendiri harus dengan sungguh-sungguh menjalani apa yang saya kerjakan sekarang, jalan yang sedang saya tempuh saat ini. Sungguh-sungguh dan penuh hasrat, passion.. (author: saca firmansyah)

    Label: