Jumat, 12 November 2010

Mengembangkan Masyarakat Melek Media

Tulisan ini dibuat dengan maksud menjadi tinjauan kritis terhadap dampak media massa terhadap masyarakat, khususnya para remaja, serta bagaimana cara mengatasinya.
***

Saat ini, masyarakat semakin dimanjakan dengan berbagai produk media massa, mulai dari mainstream media seperti koran, majalah, televisi, dan radio, hingga kehadiran new media yaitu internet atau yang sekarang dikenal sebagai online media.
Kehadiran berbagai media massa tersebut tak lepas dari perubahan yang terjadi di tingkat global. Era globalisasi telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk semakin mudah mendapatkan informasi sekaligus hiburan dari berbagai tempat.
Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah seringkali ketersediaan informasi yang melimpah tersebut tidak diikuti dengan kemampuan untuk menyaring atau memfilter. Sehingga, muncul apa yang disebut dengan ‘kekagetan budaya’ (culture shock).
Kekagetan budaya atau gegar budaya, menurut Tatang Mutaqqin (2006), terjadi karena adanya keinginan dan konsumsi berlebihan akan produk hasil kemajuan teknologi dimana kurang dipahami oleh pengguna itu sendiri.
Dalam diri masyarakat (pengguna), akses media yang sangat luas ini layaknya dua sisi mata uang. Sisi pertama, media sebagai sumber informasi, pengetahuan, dan hiburan bagi masyarakat. Di sisi lain, media massa juga membawa dampak negatif  ketika sajian-sajian mereka ternyata membawa nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat.
Misalnya saja, media audio visual yang lazim kita kenal dengan sebutan televisi. Saat ini,  televisi menyajikan bermacam  program, baik yang bersifat informatif, edukatif, hingga to entertain (menghibur). Akan tetapi, sebagian besar program siaran yang ditayangkan lebih banyak to entertain yang tidak mendidik dan jauh dari realitas sosial masyarakat kita. Sinetron misalnya, selalu mengetengahkan kemewahan yang tidak dimiliki masyarakat kebanyakan. Kehidupan yang ideal tersebut sebagian besar ditampilkan pada tayangan televisi kita setiap harinya.
Sebagai industri budaya, televisi memberikan imbas media yang besar bagi kehidupan masyarakat. Kehadirannya baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat Indonesia dengan banyaknya tayangan televisi yang hanya memunculkan keserakahan dan kemudahan hidup, yang bukan merupakan realitas sosial masyarakat penontonnya (Wirodono, 2005).
Kelompok masyarakat yang paling besar terpengaruh adalah kaum remaja, dimana gaya hidup mewah ditandai dengan perilaku hedonis, materialistis yang dapat mendorong perilaku seenaknya dan egois pada diri remaja.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari media massa ini adalah dengan cara memberikan edukasi kepada kelompok masyarakat tersebut mengenai bagaimana mengonsumsi media secara cerdas.
Tentu ada beragam cara untuk mengurangi dampak negatif media massa. Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memberikan serangkaian regulasi berlandas semangat mengatur (to regulate) bukan mengontrol (to control) kehadiran media massa di tengah masyarakat.
Namun demikian, seringkali lembaga-lembaga tersebut dalam prakteknya menemui kendala dengan superioritas owner media massa dan juga kekuatan pengiklan. Dengan kata lain, media massa menjelma menjadi alat kapitalis dan mereka selalu berlindung di balik jargon kebebasan informasi atau the freedom of the press.
Dengan demikian, edukasi masyarakat agar menjadi konsumen media yang cerdas menjadi jawaban terakhir yang bisa diupayakan. Karena, jika konsumen mampu memfilter terpaan media secara cerdas, maka mau tak mau para pebisnis media dan yang terlibat di dalamnya akan lebih berhati-hati dalam menentukan produk mereka. Upaya memberdayakan konsumen media inilah yang disebut dengan media literacy.
Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini diterjemahkan sebagai keberaksaraan media atau melek media. Konsep ini merujuk pada kemampuan khalayak untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi pesan-pesan melalui media dalam berbagai konteks (Livingstone, 2003).
Di Indonesia, gerakan ini muncul  pada awal dekade 1990-an, yang diawali oleh gagasan para pengamat media, yang kemudian pada 1996 di Surabaya berdiri yayasan Lembaga Konsumen Media (LKM) yang dimotori oleh para jurnalis senior, dan akademisi. Kegelisahan mereka pada content media yang semakin buruk menjadi dasar berdirinya lembaga ini. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah memberikan tinjauan-tinjauan kritis terhadap isi media.
Lahirnya gerakan media literacy mengarah pada sebuah gerakan mendidik publik agar mampu menghadapi media massa secara bijak dan cerdas. Bijak, artinya mampu memanfaatkan media massa sesuai dengan keperluannya. Cerdas, artinya mampu memilih dan memilah ragam informasi yang memang diperlukan. Tahu  mana yang penting, dan mana yang tidak penting atau bahkan berbahaya bagi dirinya maupun lingkungannya.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat menjadi konsumen cerdas. Konsumen cerdas dalam pengertian memiliki kemampuan menyaring, menyeleksi, dan mempersepsi informasi, sehingga dapat menarik sebuah manfaat dari media massa tersebut.
Tentu tidak serta merta sebuah masyarakat melek media terbentuk. Ada proses pembelajaran yang panjang untuk menuju ke arah sana. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah membentuk komunitas-komunitas pembaca media.
Langkah awal, tidak harus besar. Tetapi dapat dimulai dengan membentuk peer group atau kelompok-kelompok sebaya (5-7 orang) yang mereka diajak untuk diskusi film, diskusi sinetron, dan diberikan pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah pesan. Diharapkan peer group akan memiliki pemahaman lebih dan mampu berpikir kritis terhadap terpaan yang mereka terima.
Apabila tujuan tersebut telah terpenuhi dari kelompok yang ada, dan setiap kelompok dapat dipercaya, maka masing-masing membentuk kelompok-kelompok peer group baru dimana mereka menjadi tutor dalam kelompok yang baru tersebut.
Pembentukan peer group yang paling mudah adalah dari lingkup sekolah. Dapat dibayangkan hasilnya apabila peer group ini sudah mencakup seluruh siswa di sebuah sekolah. Tentu saja, tayangan media massa yang buruk secara kualitas tidak lagi menjadi ancaman. Bahkan, masyarakat sudah dapat memanfaatkan potensi televisi sebagai media pembangun karakter bangsa. (author: dinda dinar gumilang, ed: saca firmansyah)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda