Senin, 01 November 2010

Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perpustakaan

Pada beberapa perjalanan yang penulis lakukan di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak akhir 2004 hingga akhir 2008, telah banyak usaha-usaha dari berbagai pihak dalam mengupayakan pembangunan perpustakaan dengan tujuan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat. Di Aceh pasca tsunami, pembangunan perpustakaan di daerah yang dekat dengan pemukiman korban bencana tsunami marak didirikan. Baik oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerjasama dengan perusahaan, departemen atau lembaga pendidikan dan ilmiah, organisasi kemahasiswaan dalam program pengembangan masyarakat dan kuliah kerja nyata (KKN), maupun oleh pemerintah daerah dan pusat. Di daerah lainnya, seperti di Bandung, Serang, dan Yogyakarta pembangunan perpustakaan juga marak dilakukan mulai dari pemukiman padat penduduk di daerah perkotaan hingga di daerah pedesaan. Di Jakarta dan Jawa Barat, pengembangan perpustakaan di daerah pemukiman yang jauh dari perpustakaan umum didukung oleh Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda). Namun demikian, tidak semua wilayah dapat dijamah oleh Perpumda. Partisipasi masyarakat tetap diperlukan untuk pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan.
Dalam pembahasan mengenai perpustakaan umum, Sulistyo Basuki (1994: 35-44) menjabarkan bahwa sejak tahun 1950-an pembangunan perpustakaan di Indonesia telah marak didirikan, termasuk perpustakaan di desa-desa. Akan tetapi, hasilnya “seperti yang dirasakan dan dilihat dalam masyarakat sekali lagi membuktikan bahwa perpustakaan desa belum berfungsi secara maksimal” (Sutarno NS, 2008: 132). Dari beberapa perpustakaan yang dibangun ada yang kemudian redup penyelenggaraannya dan bahkan mati. Soal hambatan dalam perkembangan perpustakaan, Blasius Sudarsono ( 2006: 8 ) menyatakan:
"Alasan klasik antara lain disebut bahwa membaca belum membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. Apresiasi masyarakat akan bahan bacaan masih perlu ditingkatkan, apalagi dengan semakin mahalnya buku bagi sebagian besar masyarakat. Selain faktor dana dan tenaga, pemahaman yang benar akan pentingnya lembaga perpustakaan bagi masyarakat, juga menjadi sebab belum berhasilnya usaha pembangunan perpustakaan. Mungkin justru alasan terakhir inilah yang menjadi sebab utama dan pertama kelambatan perpustakaan mewujud sebagai lembaga yang benar-benar diperlukan keberadaannya bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia."
Pemahaman masyarakat akan pentingnya lembaga perpustakaan sebagai lembaga pelayanan masyarakat dapat tercipta dengan baik melalui partisipasi kelompok masyarakat dalam proses pembangunan perpustakaan. Partisipasi kelompok masyarakat menjadi penting terkait dengan orientasi dari keberadaan perpustakaan dalam pelayanannya terhadap kebutuhan masyarakat pengguna.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat diuraikan oleh Isbandi Rukminto Adi (2007: 22-23) sebagai berikut:
"Dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, maka akan terlihat peran partisipasi masyarakat menjadi hal yang penting dalam suatu proses pengkajian dan pengidentifikasian (assessment), perencanaan dan pengambilan keputusan rencana aksi (action plan) yang akan dilakukan oleh lembaga pelayanan masyarakat. Karena tanpa adanya partisipasi masyarakat maka pihak pemberi layanan akan kesulitan untuk menangkap apa aspirasi masyarakat yang mewakili pandangan sebagian besar kelompok dalam suatu komunitas. Dalam kaitan untuk dapat memperoleh aspirasi yang lebih komprehensif, maka peran perencanaan yang partisipatoris (partisipatif) menjadi hal yang penting untuk dilakukan."
Lebih lanjut, kaitan antara pemahaman masyarakat dan partisipasi kelompok masyarakat dalam pembangunan perpustakaan dikritisi oleh Blasius (2006: 9) melalui rangkaian pertanyaan sebagai berikut:
"Biasanya dalam membangun perpustakaan selalu dikatakan berorientasi pada pemakai. Namun apakah memang sungguh-sungguh mereka ditanyai dalam proses pembangunan perpustakaan tersebut? Bukankah proses pembangunan perpustakaan selama ini hanya berdasarkan asumsi saja, atas keperluan pemakai? Apakah proses pembangunan juga sudah selalu diikuti dengan pembinaan agar apa yang telah dibangun dapat dipertahankan keberadaannya dan dapat dikembangkan atau ditingkatkan? Apakah langkah untuk tetap dapat berkembang ini juga sudah direncanakan dalam perancangan awal pembangunan suatu perpustakaan?"
Pemakai di dalam pengertian ini adalah masyarakat di sekitar perpustakaan yang menjadi sasaran dari tujuan pembangunan perpustakaan. Pertanyaan tersebut penting diajukan untuk dapat melihat sebab-sebab dari kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya lembaga perpustakaan. Pertanyaan tersebut juga mengarahkan pada pemikiran tentang pentingnya partisipasi masyarakat sejak perencanaan hingga pengelolaannya, mengingat bahwa perpustakaan selalu berorientasi pada masyarakat dan masyarakat pulalah pemangku utamanya. Pertanyaan itu juga perlu diajukan untuk kepentingan strategi pembangunan perpustakaan selanjutnya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menegaskan pula bahwa “pada hakikatnya keberadaan, perkembangan, maju-mundurnya suatu perpustakaan sangat tergantung kepada masyarakat di sekitarnya” (Sutarno NS dan Tim Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat, 2000: 1). Masyarakat merupakan pihak yang paling berkepentingan dengan keberadaan perpustakaan. Ini dikarenakan dari kegiatan dan kebutuhan masyarakat akan informasi dalam rangka peningkatan mutu hiduplah perpustakaan pada dasarnya berdiri. Sehingga keberlangsungan perpustakaan dan perkembangannya sungguh sangat berkaitan dengan upaya masyarakat dalam mengembangkan diri dan meningkatkan mutu hidup.
Masyarakat yang hidup di lingkungan perpustakaan, tidak bisa dinafikkan dari setiap proses yang terjadi di dalam penyelenggaraan perpustakaan. Merekalah yang pertama menerima dampak dan juga memberikan pengaruh terbesar terhadap jalannya proses di dalam penyelenggaraan perpustakaan, baik positif maupun negatif. Dengan keterlibatan langsung masyarakat terhadap penyelenggaraan perpustakaan diharapkan akan timbul kesadaran bahwa perpustakaan adalah milik masyarakat dengan segala peran dan fungsinya bagi masyarakat.
Berbicara mengenai pendekatan dalam pembangunan perpustakaan untuk dapat diterima sebagai milik masyarakat, Blasius (2006: 157-158) menyatakan:
"Pembangunan perpustakaan umum yang hanya menggunakan pendekatan teknis pasti tidak akan memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal pustakawan sering mengatakan bahwa program kegiatan perpustakaan berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Pendekatan teknis (technical approach) telah menjadi salah satu yang kebanggaan pustakawan. Pendekatan lain mulai melihat perpustakaan sebagai sistem sosial (social system approach). Pendekatan lain yang dapat dipakai adalah pendekatan kemanusiaan (humanistic approach). Pendekatan ini melanjutkan pendekatan sistem sosial yang melihat perpustakaan menjadi sub sistem dari sistem masyarakat, dan merancang perpustakaan menjadi bagian yang memiliki kebergunaan (usability) yang tinggi dalam menjaga dan meningkatkan harkat manusia."
Dengan pendekatan ini perpustakaan umum seharusnya dapat menjadi tempat bagi masyarakat untuk menemukan solusi kehidupannya agar menjadi semakin sejahtera dan luhur pekertinya.
Pada kenyataannya, di dalam pembentukan, penyelenggaraan, serta pengelolaan dan pengembangan perpustakaan, terutama perpustakaan umum di desa-desa, selama ini masih terpaku pada pengolahan teknis perpustakaan atau pembangunan infrastruktur belaka tanpa melihat secara mendalam keberadaan dan peran serta masyarakat. Bahkan dapat dikatakan masyarakat tidak dilibatkan sama sekali karena semua telah direncanakan dari atas (top-down), baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta, dengan berbagai asumsi atas kebutuhan masyarakat dan pendekatan teknis di dalamnya. Ketersediaan sumber informasi di perpustakaan seringkali menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk menjawab tantangan dan mengelola potensi yang ada di lingkungannya. Sehingga tidak heran “apabila masyarakat umum lalu menganggap bahwa perpustakaan hanyalah tempat kumpulan buku, dan tugas perpustakaan adalah menata dan menjaga buku saja” (Blasius, 2006: 9). Anggapan semacam ini dialami pula oleh peneliti saat turut serta dalam pembangunan perpustakaan di beberapa tempat, di antaranya yaitu pembangunan perpustakaan komunitas di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan pada akhir tahun 2004 dan pembangunan perpustakaan desa di Desa Mekarjaya Kuningan Jawa Barat pada awal tahun 2007. Pendekatan pembangunan perpustakaan seperti itu, yaitu yang bersifat top-down dan hanya menekankan pada pendekatan teknis saja, menjadi satu sebab mengapa perpustakaan belum menjadi bagian hidup keseharian masyarakat Indonesia. Atau dengan kata lain, perpustakaan tidak dirasakan sebagai milik masyarakat pengguna karena tidak berkaitan dengan masalah dan kebutuhannya.
Pembangunan perpustakaan yang selalu dirumuskan dalam tujuan-tujuannya yang mulia, misalnya demi mempercepat tercapainya tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka menuju kesejahteraan rakyat, karenanya tidak melulu hanya menggunakan pendekatan teknis dan tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan masyarakat dalam menghadapi dan menjawab persoalan hidupnya.
Prinsip partisipasi dalam pembangunan perpustakaan masyarakat didasarkan pada pemikiran bahwa “tanpa keikutsertaan semua lapisan masyarakat dalam membangun perpustakaan pemukiman, hampir dapat dipastikan perpustakaan tersebut sulit mencapai keberhasilannya” (Arwin Agus, 2006). Di samping itu juga didasarkan pada jabaran sebelumnya, yaitu bahwa pemahaman dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap perpustakaan dapat diperoleh dengan baik melalui pendekatan pembangunan perpustakaan yang dapat melibatkan peran serta atau partisipasi masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya partisipasi masyarakat maka di dalam pembangunan perpustakaan akan sulit untuk mengungkapkan apa aspirasi masyarakat yang mewakili sebagian besar kelompok masyarakat. Untuk dapat memperoleh aspirasi yang lebih komprehensif, maka peran perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perpustakaan yang melibatkan masyarakat di dalamnya menjadi hal yang penting untuk dilakukan, sehingga perpustakaan yang dibangun benar-benar dapat dirasakan sebagai milik masyarakat karena memang tumbuh dan berakar dari kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Daftar Referensi:
Arwin Agus. (2006). “Pembentukan Perpustakaan Pemukiman Dalam Rangka Meningkatkan Minat Baca Masyarakat.” Gemma Perpustakaan Edisi VI/2006: 10-15.
Blasius Sudarsono. (2006). Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Ikatan Pustakawan Indonesia.
Isbandi Rukminto Adi. (2007). Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan. Depok: FISIP UI Press.
Sulistyo Basuki. (1994). Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sutarno NS. (2008). Membina Perpustakaan Desa. CV. Jakarta: Sagung Seto.
Sutarno NS dan Tim Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat. Profil Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat 1978-2000. Jakarta: Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat, 2000.

(author: saca firmansyah)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda