Rabu, 29 September 2010

Menuju Semeru (3), Bermalam di Rumah Pak Laman

Sore hingga malam hari, 27 September 2010.

Tak mendapatkan jeep sore itu, kami langsung memilih opsi untuk menggunakan truk yang akan mengantarkan sayuran ke Ranu Pani pada esok pagi. Dengan bantuan kawan-kawan yang mangkal di Pos Tumpang, akhirnya kami terhubungkan dengan Pak Laman, salah seorang pemilik truk yang akan menuju Ranu Pani esok pagi.

Sekitar pukul tiga sore Pak Laman datang dengan truknya menjemput kami di Pos Tumpang. Dari pos itu kami langsung diboyong Pak Laman menuju rumahnya. Tak sampai lima belas menit dengan menggunakan truk, kami sampai di rumah Pak Laman. Di halaman rumah Pak Laman terdapat juga satu truk dan satu jeep terbuka berwarna coklat.

Di samping jeep, di halaman rumah Pak Laman juga terlihat anak-anak yang sedang bermain. Beberapa diantaranya adalah anak Pak Laman. Salah satu nama yang masih saya ingat adalah Abi, anak laki-laki yang paling kecil.

Memasuki rumah, kami langsung disuguhkan dengan teh manis hangat oleh istri Pak Laman. Pak Laman sendiri langsung pergi lagi. Kata sang istri akan ke Surabaya, mengurus mobil lainnya.

Dengan keluarga Pak Laman tak banyak yang kami bicarakan. Hanya sekenanya saja, tanya jawab singkat. Tapi dengan anak-anaknya, kami mencoba mengabadikan gambar mereka. Berfoto bersama. Hal ini saya lakukan untuk mencairkan suasana saja. Lagipula, saya lihat mereka memang senang difoto. Terbukti dengan foto-foto yang digantung di dinding kamar dan ruang tamu. Dengan Dinda dan Alfi, saya katakan bahwa foto ini akan dicetak dan dikirim ke tempat ini sebagai kenangan untuk mereka dari kami. Untuk itu, kami mencatat alamat rumah tempat kami akan bermalam itu.

(Berfoto bersama anak-anak Pak Laman)
Usai berfoto, waktu maghrib tiba. Saya pamit untuk shalat di masjid yang belum jadi di pertigaan jalan. Shalat di masjid itu sangat singkat sekali. Sang Imam membaca dengan bacaan surat-surat pendek dan dengan cepat pula. Bacaan-bacaan shalat lainnya juga sangat singkat sekali. Saya merasa shalat maghrib saat itu seperti senam sore saja. Gerakan-gerakannya begitu singkat dan cepat.

Selesai shalat, saya kembali ke rumah Pak Laman. Sepanjang jalan kembali, sebagian anak-anak muda ada yang berpakaian ala santri menuju mushola lainnya. Tapi, di mulut-mulut gang sebagian anak-anak muda lainnya berkumpul membentuk tongkrongan lain dan mengabaikan waktu shalat. Namun demikian, kedua ’kelompok’ pemuda itu tetap saling menyapa seadanya. Dari sapa menyapanya, mereka memang saling mengenal.
***
Sore itu hujan turun sedikit, gerimis. Tapi tak berlangsung lama, hanya dalam hitungan menit saja dan cuaca kembali cerah. Di langit juga mulai terlihat bulan yang tak lagi bulat sempurna. Di dalam rumah, saya, Dinda dan Alfi sedikit-sedikit berbicara mengenai pengalaman masing-masing. Sedikit-sedikit sempat nyerempet juga ke masalah agama. Soal kecenderungan beberapa hukum fiqih yang dipilih. Dan kecenderungan terhadap salah satu ormas Islam, Muhammadiyah. Dinda dan Alfi juga merupakan didikan Muhammadiyah. Untuk Alfi, setidaknya ia dididik di Universitas Muhammadiyah.

Tak lama berbincang-bincang, istri Pak Laman menawarkan kami makan. Menurut Dinda istri Pak Laman sudah memasak untuk kami. Tapi saya tak enak hati untuk memakannya. Hal ini lebih dikarenakan kami mesti makan bertiga saja tanpa ditemani Pak Laman yang sedang ke Surabaya dan istri Pak Laman yang mesti menemani anak-anaknya tidur.

Alih-alih makan malam, kami malah berbincang-bincang lagi. Mengenai kekhawatiran cuaca yang buruk, kepada Dinda dan Alfi saya katakan bahwa cuacanya akan baik-baik saja pada pendakian nanti. Saya sempat berseloroh, Surabaya sudah menyambut saya dengan cuacanya yang baik, cuaca yang cerah walaupun agak gerah. Padahal, menurut Dinda sebelum saya datang cuacanya tak menentu, hujan deras dan berganti panas.

Kini giliran Malang, Bromo-Tengger-Semeru yang akan menyambut saya dengan cuacanya yang cerah dan indah. Bukannya sombong, tapi memang terbukti juga akhirnya. Malang menyambut saya dengan cuacanya yang cerah. Mengenai hal ini, saya sangat percaya bahwa orang tua saya pasti selalu berdoa di shalat-shalat malamnya untuk keselamatan dan kebahagiaan saya walaupun terkesan ada pembiaran terhadap semua yang saya lakukan. Makanya, kemanapun saya pergi sesungguhnya do’a orang tua selalu menyertai perjalanan saya.

Pukul delapan malam, Alfi tertidur di kursi di ruang tamu. Saya dan Dinda yang belum bisa tidur, mencoba keluar untuk mencari suasana segar, sekalian melihat suasana di sekitar rumah Pak Laman. Entah mengapa, sepertinya di antara kami ada ketertarikan satu sama lainnya. Tapi entah, ketertarikan terhadap apa. Yang jelas, seringkali kami saling bertatap mata sejak pertama kali bertemu. Kadang dalam waktu yang agak lama, sampai akhirnya muncul senyum darinya yang harus membuat saya mengalihkan pandang. Takut-takut kalau nanti benar-benar jatuh hati. Saya masih belum mau terlalu jatuh hati. Saya, mengutip lirik BIP (Sampai Nanti), ”masih banyak mimpi dan keinginan yang belum tercapai.” Saya hanya ingin menjadi sahabat, menjadi teman jalan yang baik. Saat itu untuk mereka berdua. Untuk sementara ini dicukupkan pada hubungan seperti itu saja.

Di sepanjang jalan di lingkungan sekitar rumah Pak Laman ternyata sangat sepi. Hanya ada beberapa kelompok pemuda yang berkumpul-kumpul. Itu pun dengan jumlah yang tak cukup banyak. Karena itu kami memutuskan kembali. Tapi, saya lihat ada Mie Ayam. Kami mampir di sana dan memesan dua mangkuk. Kelihatannya enak. Tapi kata Dinda mienya tidak terlalu enak, tidak matang merebusnya. Saya juga merasakan begitu, tapi santap sajalah. Walaupun agak eneg sedikit karena mienya cepat sekali dingin dan rasanya keras.

Awalnya kami ingin memesan satu lagi, dibungkus untuk Alfi. Tapi karena rasanya menurut Dinda kurang begitu enak. Niat itu diurungkan. Sambil berbincang-bincang, mie yang katanya tidak enak itu habis juga kami santap. Untuk dua mangkuk mie ayam, hanya dikenakan enam ribu rupiah saja. Dalam hati saya, murah banget, pantas rasanya tidak enak. Ah, tapi biar rasanya tidak enak tetap habis juga saya santap.

Sampai di rumah Pak Laman ternyata Alfi sedang terjaga dan tidak tidur. Tidak enak juga meninggalkannya sendirian. Ya, kami bercerita apa adanya saja apa yang dilakukan tadi. Dari hal itu kemudian berlanjut pada perbincangan yang lain. Kira-kira sampai setengah sebelas malam perbincangan belangsung. Dan setelah itu kami baru tertidur. Benar-benar tertidur pulas.

Pukul 3 dinihari, 28 September 2010

Alarm berbunyi dengan nada yang begitu asing bagi saya. Mungkin dari HP Dinda atau Alfi. Tapi saya tetap melanjutkan tidur saya hingga adzan shubuh terdengar di telinga. Saat saya bangun, ternyata Pak Laman sudah ada di rumah. Sudah bangun bersama istrinya yang mulai membereskan rumah.

Setelah duduk sebentar, saya langsung ke kamar mandi. Berwudhu dan langsung shalat shubuh. Usai shalat shubuh, sekitar pukul lima kurang tiga puluh menit kami membereskan barang-barang bawaan kami. Pak Laman mengatakan bahwa yang akan mengantarkan kami adalah adiknya, tepatnya adik iparnya, Pak Slamet.

Tak lama setelah Pak Laman mengatakan itu, Pak Slamet datang dan langsung memanaskan mesin truk. Istri Pak Laman juga menyediakan teh manis hangat untuk kami bertiga. Setelah menyeruput habis teh manis, saya keluar untuk melihat truknya. Di dalam truk ternyata sudah bertumpuk karung-karung berisi pupuk dan bensin.

Tepat pukul lima, setelah Pak Lomo yang akan menemani Pak Slamet datang, truk mulai sedikit-sedikit dijalankan. Kami segera menaikkan barang-barang kami di atas tumpukan karung-karung itu.

(Alfi menaikkan barang bawaannya ke atas truk dengan dibantu Pak Lomo)
Selesai barang-barang diangkut, kami berpamitan dengan Pak Laman dan istrinya. Sayang, anak-anaknya masih belum terlihat. Jadi tak bisa pamit kepada mereka. Mungkin masih asik dengan mimpi-mimpinya, mimpi anak-anak. Sampai bertemu lagi, Pak Laman dan keluarga! (author: saca firmansyah)

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda