Senin, 27 September 2010

Menuju Semeru, Cerita Di Antara Yogyakarta dan Surabaya

25 September 2010
Sabtu malam menjelang Minggu dinihari. Langit masih diterangi sisa-sisa cahaya bulan purnama yang dua hari lalu bersinar terang. Kebosanan dalam menunggu akhirnya pecah sudah. Kereta Api Gaya Baru Malam Selatan yang sudah banyak ditunggu orang tiba juga di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.
Agak telat memang. Tapi ini sudah biasa. Maklum, ini kereta api kelas ekonomi. Salah satu kereta api dengan tarif yang paling murah. Bayangkan, kalau dari Jakarta (Kota) sampai Surabaya (Gubeng) cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 33.500,- saja. Bukankah itu kelewat murah?
Soal tarif kereta, beberapa hari lalu saya dengar berita dari Jakarta tarif kereta ekonomi akan dinaikkan. Entah apa alasan sejatinya dan apakah kelak akan menuai protes atau tidak. Saya belum mau ambil pusing untuk itu. Yang jelas, sebagai bagian dari rakyat Indonesia dengan ekonomi pas-pasan dan senang jalan-jalan, saya selalu menikmati setiap jenis transportasi kelas ekonomi semacam ini.
Angin semilir berhembus. Malam semakin malam. Cahaya rembulan terlihat redup di balik kaca. Saya duduk di gerbong tujuh. Carrier saya yang lengkap dengan perlengkapan mendaki gunung saya tempatkan di tempat barang penumpang, di atas kursi. Ya, perjalanan saya selanjutnya adalah mendaki Semeru. Yogyakarta dengan Merapi-nya sedang tak sedap untuk dikunjungi. Cuacanya juga sedang tidak baik. Maka, tujuan saya dari Yogyakarta dengan kereta ini adalah Surabaya. Tepatnya turun di Stasiun Wonokromo. Menemui teman terlebih dulu untuk selanjutnya melakukan pendakian ke Semeru, Malang.
Sebelumnya, di Stasiun Lempuyangan ini saya berpisah dengan kawan seperjalanan saya, sebut saja Ais--Asli Serang, Banten. Ia tidak bisa melanjutkan liburan karena jatah liburannya memang sudah habis seminggu yang lalu. Dan kawan saya yang mahasiswi universitas terbesar dan ternama di Yogyakarta ini sudah membolos pada minggu pertama kuliahnya. Ia tidak ingin terlalu banyak ketinggalan di dalam kuliahnya.
Dalam perjalanan, ia sempat bercerita soal kuliahnya. Senang juga mendengar semangat belajarnya. Saya berharap kelak ia akan menjadi bagian dari kelompok yang akan membebaskan negeri ini dari keterbelakangan. Saya berharap kawan! Ingat, saya berharap sebagaimana kamu juga berharap!
***
Hari hampir berganti. Kereta pun bergerak perlahan-lahan. Saya lihat langit gelap dan awan-awan hitam yang juga ikut bergerak perlahan-lahan. Tak kulihat lambaian tangan Ais. Yang kulihat adalah senyum ibu-ibu tua yang menjajakan nasi pecel.
Tidak hanya satu, ada beberapa ibu-ibu tua yang hilir mudik menjajakan barang dagangannya. Nasi pecel, nasi rames, nasi ayam, pisang rebus, kacang rebus, hampir semua ibu-ibu tua. Yang agak sedikit lebih muda adalah mereka yang menjajakan minuman hangat. Jahe, kopi, kopi susu, susu panas, dengan macam-macam merek dalam kemasan siap saji.
Selain kaum perempuan, kaum lelaki lebih gesit menawarkan dagangan yang serupa. Tapi lebih bermacam-macam. Ada yang menjajakan juga alat dapur yang terbuat dari kayu kelapa. Ada juga yang menawarkan makanan khas daerah, seperti bakpia, pisang gethuk, dan lainnya. Ada pula seorang lelaki buta yang menawarkan jasa pijat di dalam kereta.
Macam-macam cara orang-orang ini untuk mengais sekeping dua keping atau selembar dua lembar rupiah. Oleh karena pemerintah dan saya juga tak banyak membantu dalam masalah mereka, saya pikir tidak perlulah berpikir untuk mengusir mereka ini.
Walaupun memang mengganggu kenyamanan di kereta api tetapi juga banyak pula penumpang kereta yang membutuhkannya. Termasuk saya yang turut membeli nasi sate ayam seharga lima ribu rupiah dan nasi pecel seharga tiga ribu rupiah saat lapar benar-benar menampar.
Ditambah lagi sebotol minuman kemasan Mizone seharga lima ribu rupiah untuk melepas dahaga. Semuanya dari pedagang yang berbeda-beda. Pedagang yang katanya mengganggu kenyamanan penumpang di dalam kereta api. Pedagang yang katanya perlu ditertibkan. Pedagang yang terus hilir-mudik entah sampai stasiun yang mana, di pemberhentian yang mana ia akan benar-benar berhenti berdagang.
26 September 2010
Di tengah gerbong tujuh, di pojok bangku dekat jendela dengan nomor kursi 14 A, saya sempat tertidur pulas. Badan saya memang agak lelah karena malam-malam sebelumnya kurang tidur. Maklum, di jalanan sangat sedikit ruang untuk tertidur pulas saat malam hari tiba. Di kost-an teman-teman lama pun juga sayang kalau hanya dilewatkan dengan tidur saja.
Sampai di Stasiun Mojokerto saya terbangun. Saya diingatkan oleh seorang penumpang yang berasal dari Kota Batu, Malang untuk bersiap-siap sekitar setengah sampai satu jam lagi kalau mau turun di Wonokromo. Saya memang sempat berbincang-bincang dengannya. Tujuannya sampai ke Stasiun Gubeng. Katanya, ada urusan keluarga dan akan lanjut ke Malang dengan bus.
Dari orang itu saya diingatkan agar naik angkot kecil saja untuk ke Terminal Bungur Asih atau Purbaya. Katanya, orangnya lebih baik-baik daripada naek ’Bison’. Apalagi kalau kita ketahuan bukan asli daerah itu. Ia bercerita soal pengalaman buruknya itu sekilas saja. Sayangnya saya tidak terlalu mendengarkan. Selain bising, saya juga sangat mengantuk saat itu.
Sampai di Stasiun Wonokromo, kira-kira jam tiga dinihari, saya segera turun dari kereta. Teman sebangku saya ternyata memang sangat baik sampai-sampai menunjukkan dimana saya harus menyetop angkot dan berapa rupiah yang saya harus bayarkan. Salam satu jiwa.. Ya, makasih deh..:)
Sesuai dengan arahan, akhirnya bersama rombongan dengan logat Madura saya naik angkot yang ditunjukkan teman sebangku saya di kereta itu. Saya dan rombongan kawan-kawan Madura itu ternyata satu tujuan, yaitu terminal Bungur Asih. Cukup ramah sekali mereka ini, mereka sempat menanyakan beberapa pertanyaan dengan bahasa Jawa yang tidak saya mengerti. Saya hanya senyum saja, tersenyum kebingungan.
Di angkot, saya duduk di pojok, di bangku paling belakang sebelah kiri. Terjepit carrier yang memang cukup memakan tempat. Untungnya, tidak sampai setengah jam dari Stasiun Wonokromo saya sudah sampai di Terminal Bungur Asih/Purbaya. Angkot langsung kosong karena memang hanya mengantar sampai terminal. Saya membayar dua ribu lima ratus rupiah.
Usai membayar ongkos, saya pamit berpisah dengan kawan-kawan Madura yang masuk ke terminal untuk naik bus ke luar kota, ke Madura. Saya menyeberang rel untuk naek angkot ”X” ke daerah Rewin, tempat kawan saya tinggal.
Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Saya mampir di sebuah warung di persimpangan jalan. Dalam bahasa Jawa orang yang ada di warung itu bertanya saya mau kemana. Saya katakan mau ke Rewin, mau naek angkot “X”. Mendengar jawaban saya, orang yang bertanya itu mengatakan lebih baik naik ojek. Karena biasanya angkot itu pagi nanti sekitar jam enam baru beroperasi. Saya ditawarkan juga kalau mau menunggu untuk duduk di dalam saung yang ada di samping warung.
Di depan warung, ada ojek yang memang hanya satu-satunya saat itu. Karena bosan menunggu, saya akhirnya memutuskan naek ojek saja. Tukang ojek yang dari tadi kelihatan murung ini ternyata ramah juga. Mungkin senang dapat penumpang. Saya berikan alamat yang akan saya tuju kepada tukang ojek itu, ia menawarkan ongkos sepuluh ribu rupiah untuk sampai di depan rumah yang dituju. Tanpa tawar menawar saya langsung naek ojek motor itu.
Sepanjang jalan, tukang ojek itu terus bercerita dalam bahasa Jawa. Saya tidak benar-benar mengerti apa yang dia katakan. Saya pun hanya bisa menjawab, “ehmm”, “oh..”, “iya..”.
Perjalanan dengan ojek itu ternyata cukup jauh juga rasanya. Beban carrier yang saya bawa mungkin yang membuat badan saya jadi pegal-pegal dan waktu terasa lambat. Saya pun berpikir, murah juga sepuluh ribu sejauh ini. Kalau di Kampus UI Depok, jarak dekat saja sudah lima ribu rupiah.
Sampai di depan rumah yang dituju, saya menghubungi no. HP teman saya, Dinda Dinar Gumilang. Tapi tidak diterima. Mungkin masih tidur, maklum masih dinihari. Masih pagi-pagi buta. Saya memilih untuk menunggu bersama Satpam Perumahan yang sedang berjaga di bundaran perumahan. Saya juga mengirim SMS saja bahwa saya sudah tiba di rumahnya dan sedang menunggu.
***
Oh iya, mungkin ada yang bingung dengan angkot “X”. Angkot “X” ini memang benar-benar bertuliskan “X” sebagai penandanya. Dan untuk teman yang saya datangi ini, saya baru bertemu sekali di Yogyakarta, saat Mukatamar Seabad Muhammadiyah. Selain itu, komunikasi hanya berlangsung melalui SMS dan chattingan lewat Yahoo! Messenger (YM). Dalam satu perbincangan di YM, saya berjanji akan mengajaknya ke puncak tertinggi di daerahnya, di Pulau Jawa, yaitu Puncak Mahameru (Gunung Semeru). Karena itulah, dalam perjalanan kali ini ada misi untuk menunaikan janji.
***
Sambil menunggu pagi di Rewin, saya berbincang bersama Satpam dengan jejeran gelas kopi di bawah lampu temaram taman perumahan. Tapi tak lama, karena beberapa menit kemudian nada SMS berdering. Dinda baru saja bangun dan meminta saya untuk langsung ke rumahnya.
Sebelum sampai rumahnya, Adzan Shubuh berkumandang. Sampai di rumah, Dinda menyambut dengan senyumannya yang terakhir kali saya lihat awal Juli lalu. Tak berapa lama kemudian ayahnya keluar untuk Shalat Shubuh di Masjid AnNur Rewin. Saya pun tak segera masuk rumah. Tapi menaruh carrier di samping pintu dan ikut sholat ke masjid. Pagi itu gerimis. Tapi saya berharap cuaca akan cerah, selalu cerah untuk saya, untuk pendakian kami.
Usai shalat, saya baru berani masuk ke rumah. Menikmati teh manis hangat dan senyum hangat ayah dan ibunya. Di dalam ruang tamu, saya berbincang sebentar bersama ayahnya juga ibunya. Lebih banyak perkenalan. Karena memang kami belum pernah mengenal sebelumnya. Dari perkenalan itu, saya baru mengetahui bahwa keluarga ini memang keluarga Muhammadiyah tulen. Ayahnya Dinda mengabdi di Muhammadiyah sebagai guru, begitu pula ibu dan kakaknya. Dinda sendiri belajar di TK sampai Universitas Muhammadiyah. Luar biasa...
Sebelum kemana-mana, Dinda mengatakan kepada saya bahwa hari Minggu itu ada dua acara yang masih harus diikutinya. Yaitu ke Bungkul untuk rapat evaluasi bisnis yang sedang dirintis kawan-kawan IMM Unmuh Surabaya dan halal bi halal teman-teman KKN-nya dulu. Saya mengikutinya saja sampai kedua acara itu selesai.
Sepanjang hari itu, saya benar-benar merasakan kantuk yang amat sangat. Tapi saya tidak ingin tidur, tidak ingin melewati apa yang terjadi di hari itu. Maklum, saya belum benar-benar mengenal orang yang akan menjadi kawan seperjalanan saya ini. Oh iya, satu kawan jalan lainnya adalah Alfiah Agustin. Teman dekat Dinda yang akan bertemu di Taman Bungkul. Karena itulah, lebih baik menahan kantuk, dan baru akan tidur nanti saja saat di angkot atau bus atau kendaraan lainnya untuk menuju Malang. Hari itu adalah hari untuk saling mengenal sebelum perjalanan yang berat dimulai.
Sekitar pukul tiga sore acara yang harus dilalui Dinda baru benar-benar selesai. Saya pun baru mulai membereskan barang-barang yang ada di carrier saya. Tapi, sebelumnya sambil menunggu Alfi yang belum datang berkumpul di rumah Dinda, saya dan Dinda belanja bahan makanan dan lainnya untuk pendakian. Apa-apa yang mesti dibelanjakan sudah saya list sebelumnya.
***
Sekitar pukul setengah lima sore saya baru selesai berbelanja. Alfi sudah menunggu dan siap dengan barang-barang pribadi yang saya minta untuk dibawanya, seperti jaket, sleeping bag, dan pakaian ganti. Sore itu saya segera melakukan cek ulang barang bawaan saya dan logistik untuk kami bertiga.
Barang bawaan saya yang ada dalam Carrier (Deuters) antara lain: Sleeping Bag (2 bh), Flysheet uk 2x3 m (1 bh), Kompor Gas (1 bh), Gas Hi Cook (2 Klg), Nasting (1 bh), Headlamp (S-Sun 1 bh), Payung (1 bh), Tenda (1 set), Pisau Dapur (1 bh), Kamera DSLR (Olympus E-420) (1 unit), Alat Navigasi (Peta, GPS Garmin 12 XL, Kompas, Protaktor, Busur), Kain Sarung (2 ptg), Kemeja (3 ptg), Kaos / T-Shirt (3 ptg), Celana Panjang Bahan Kain Warna Hitam (1 ptg), Celana Jeans (1 ptg), Celana Dalam (3 ptg), Pakaian jalan (Celana Pendek warna biru, T Shirt warna biru, CD), Jaket (Jack Wolfskin merah 1 ptg, dan 1 “R” warna biru), Kaos kaki (2 psg), Sarung tangan (1 psg), Rain Coat, Sendal (bermerek Citarik), Obat-obatan (Komix Cair, Antangin Cair, Kapas, Kain Kasa, Tisu Basah), dan di samping carrier ada Matras (2 bh). Untuk pendakian saya menggunakan sepatu Hi Tec, V Lite.
Untuk logistik, di dalam carrier terdapat Beras, Teh sachet (2 pcs), Cocoa bubuk (1 bks), Susu bantal (9 pcs), Vicee (6 tablet), Sayur sop (untuk 3 x masak), Sosis (1 bks), Bakso Udang (1 bks), Ikan asin, Bumbu nasi goreng (2 bks), Roti tawar (1 bks), Beng-beng (24 bks), Biskuat (6 bks), Indomie (6 bks), Sarden (2 klg), Saos pedas (1 btl).
Barang-barang lainnya adalah tali rafia (1 bks), Tisu toilet (2 bks), Tisu basah (3 bks), Korek Api Gas (2 bh), Korek Kayu (2 bks), dan Alat jahit.
Packing ulang, baik saya, Dinda, dan Alfi baru selesai pukul enam kurang, sebelum waktu maghrib tiba. Rencananya kami akan berangkat malam itu juga. Tapi ibunya Dinda khawatir kalau kami berangkat malam itu. Untuk menenangkan hati sang ibu, saya mengiyakan untuk menunda perjalanan esok pagi saja, usai sholat shubuh.
Setelah kepastian itu, saya dan Alfi akhirnya menginap di rumah Dinda. Usai sholat maghrib menikmati masakan sang bunda terlebih dahulu. Setelah itu berbincang-bincang hingga larut malam. Dalam perbincangan itu, awalnya saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya. Kemudian saya lebih banyak bercerita tentang pengalaman pendakian saya.
***
Kalaulah Dinda dan Alfi benar-benar menyimak rentetan cerita saya, ia pasti paham bahwa bukan hanya sekali ini saja saya nekad mengajak perempuan-perempuan yang baru pertama kali naek gunung. Kalau dihitung-hitung, ini kali ke lima saya mengajak perempuan yang baru pertama kali naek gunung ke gunung-gunung tinggi seorang diri. Tapi ini adalah yang pertama kalinya saya naek gunung dan mengajak dua orang perempuan yang baru pertama kalinya naek gunung dan tidak saya kenal pula dengan baik sebelumnya. Inilah tantangannya. Tapi tetap dalam perhitungan yang rasional.
Saya ingat betul nasihat kawan, ”Keberanian itu menentang ketakutan, melawan ketakutan, bukan dengan tiadanya ketakutan.” Sederhana sajalah, saya juga pasti punya ketakuan. Tapi seperti yang saya katakan pada teman saya, Tia sebelum saya berangkat, ”gw gak tahu apa-apa kalau gw gak ngejalanin sesuatu itu, dan buat tahu itu gw perlu menjalaninya. entah penderitaan, petualangan atau kesenangan yang akan gw dapat. yang jelas, gw sudah melakukan persiapan, tinggal diuji lagi, bagaimana keberanian gw dalam menyikapi ketakutan, mengambil keputusan-keputusan..” Yang tentunya jangan sampai membahayakan orang-orang yang tidak mengerti apa-apa. Di sinilah saya mencoba belajar menjadi seorang pemimpin. Sekaligus juga menjadi seorang pengikut, pengikut kebijaksanaan dalam bersikap.
***
Malam terasa panas. Kami keluar dari rumah dan melanjutkan perbincangan. Entah mengapa, malam itu saya senang sekali melihat semangat di wajah mereka. Juga rasa penasaran mereka berdua untuk segera memulai pendakian. Saya senang sekali, menatap mata mereka yang seperti membayangkan bagaimana pendakiannya kelak akan berlangsung, atau bagaimana indahnya Ranu Kumbolo dan Mahameru. Saya senang dengan mereka berdua. Senang karena akan ada teman seperjalanan yang baru dalam pendakian kali ini.
Tak terasa, hari sudah tengah malam. Tepatnya, hari telah berganti. Rasa kantuk yang tadinya berkuasa, perlahan justru menghilang. Agar badan tetap fit, saya meminta agar mereka berdua tidur dan saya juga harus memaksakan diri untuk tidur. Saya ingat kata-kata teman saya, ”Kita boleh tidur sampai larut malam, tapi biasakan untuk tidur sejam dua jam untuk menghargai sang malam.” Pukul satu dinihari saya pun tidur. Entah dengan mereka yang sejam sebelumnya sudah masuk kamar.
***
Kira-kira pukul empat, atau saat Shubuh mulai merangkak masuk, saya terbangun. Beres-beres sedikit. Setelah semua shalat Shubuh, kami bersiap-siap berangkat. Usai shalat kami langsung menuju terminal Bungur Asih menggunakan sepeda motor. Dari terminal Bungur Asih rencananya lanjut naik bus ke terminal Arjosari, Malang. Pagi yang cerah, saya selalu berharap semoga hari-hari pendakian kami selalu cerah. Secerah semangat kami pagi hari ini. (author: saca firmansyah)

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda