Rabu, 29 September 2010

Menuju Semeru (4), Yang Terabadikan Dari Atas Truk Pupuk Menuju Ranu Pani

(Duduk di atas truk, menikmati dinginnya udara pagi antara Tumpang-Ranu Pani)
Pagi hari yang indah, 28 September 2010
Truk yang kami tumpangi untuk menuju Ranu Pani mulai bergerak maju. Saya tak menggunakan jaket pagi itu. Saya membiarkan angin pagi menusuk-nusuk kulit saya. Saya rindu dengan dingin seperti ini setelah kegerahan di Surabaya hingga Malang siang kemarin.
Jarum jam tanganku pagi itu belum menunjuk ke angka enam. Masih bergerak ke bawah di antara angka lima menuju ke angka enam. Di atas, di sebelah timur, di depan mata kami cahaya putih bulat begitu menyilaukan mata. Di atas sisi yang lainnya, ada langit yang begitu biru.
Betapa senangnya saat melihat langit yang biru. Ah, hati siapa yang tak akan tenang melihat birunya langit jika mimpi-mimpi belum terwujud? Setiap kali melihat langit yang biru, setiap kali itu pula saya menyadari bahwa pandang mata kita terbatas menatap ke depan, dan dari situ pulalah saya menyadari bahwa segala sesuatunya ternyata juga serba terbatas. Saat menyadari itu, saya dapat beristirahat dengan tenang. Sejenak melupakan mimpi-mimpi yang belum terwujud karena segala keterbatasan yang ada saat ini.
Tapi, apakah manusia dapat cukup puas hidup dengan keterbatasan? Jika langit kembali berawan, saya juga kembali berpikir tidak karuan. Makhluk yang terbatas ini ternyata sangat merindukan yang tak terbatas, ada keinginan kuat untuk berontak pada keterbatasan-keterbatasan. Bukankah memang demikian fitrah manusia itu? Lihat saja, di dalam gelap yang membatasi pandang mata, dibuatlah lentera sehingga mata dapat melihat kembali apa-apa yang tak terlihat. Dari situlah saya kembali mengingat tentang mimpi-mimpi saya. Mimpi-mimpi yang mesti terwujud, mesti diwujudkan.
***
Tidak berapa lama dari rumah Pak Laman, kami memasuki Desa Gubug Klakah. Beberapa orang penduduk turut serta menumpang truk untuk menuju ke ladangnya. Di sisi jalan Desa Gubug Klakah, memang terdapat banyak ladang hijau yang tersusun rapi, seperti kain bermotif garis-garis hijau. Ladang-ladang hijau yang tertata rapi itu menyiratkan banyak harapan akan hari esok yang penuh dengan kegembiraan.
Saya membayangkan ketika panen tiba beberapa kebutuhan hidup petani yang tertunda selama ini dapat terpenuhi. Terbayang senyum gembira di semua tempat, di ladang, di rumah, di tempat-tempat ibadah. Semua penuh dengan senyuman. Tapi, saya baca sekilas koran lokal Jawa Timur kemarin, harga panen kubis jatuh. Ah, apakah petani-petani itu masih dapat tersenyum lebar atas hasil jerih usahanya selama ini?
(Pengalaman pertama Dinda dan Alfi duduk di atas truk, di atas tumpukan pupuk dengan latar pemandangan alam TNBTS)
Bergerak ke atas lagi, kami saksikan lembah-lembah dalam yang hijaunya begitu hijau. Terkadang mendekati hitam. Dinda ternyata takut melihat ke bawah, takut dengan ketinggian. Apalagi melihat lembah-lembah dalam dari atas truk yang pertama kali dilakukannya.
Di titik terendah mata memandang, terlihat aliran sungai seperti garis putih kecil berkelok-kelok. Burung-burung yang berkicau di pagi hari itu memanggil kami untuk melihat ke sisi selatan. Di hari yang cerah itu, dari desa ini Puncak Mahameru dapat terlihat dengan jelas. Kami memandangi cukup lama juga. Sambil membayangkan perjalanan mendaki untuk menggapainya nanti.
(Puncak Mahameru dilihat dari Desa Gubuk Klakah)
Saat memasuki jalan yang sudah mulai rusak di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, setelah melewati persimpangan jalan dengan jalur Tracking Gubug Klakah PPM UGM, truk yang kami tumpangi beberapa kali berhenti karena mengalami slip. Untungnya Pak Lomo, sang kenek truk, dengan dibantu oleh kenek truk lainnya yang mengantri di belakang bisa mengatasinya dengan baik. Sempat ada keinginan untuk turun membantu. Tapi, Pak Lomo mengatakan kami tidak perlu turun untuk membantu.
Selain di tempat itu, tak ada lagi kendala yang dihadapi. Truk bergerak maju mendaki meskipun melaju dengan lamban. Tapi, karena tidak terlalu cepat kami dapat menikmati pemandangan-pemandangan di jalan-jalan yang dilalui. Saya sempat mengabadikan keindahan alam di jalur menuju Bromo. Bagi banyak pendaki yang akan ke Semeru, jika tak sempat mampir ke Bromo biasanya tak lupa mereka mengabadikan tempat ini dengan kamera yang mereka bawa.
(Pemandangan di sepanjang jalur Gubuk Klakah-Ranu Pani, gambar diambil dari atas truk yang berjalan ajrut-ajrutan)
Setelah sekitar dua jam di atas truk, kami sampai juga ke pemukiman penduduk Desa Ranu Pani. Di sini kami sempat berhenti sesaat. Dinda sempat mampir ke rumah penduduk untuk buang ’hajat’ yang belum sempat dilakukannya Shubuh tadi di tempat Pak Laman.
Saat berhenti di pemukiman itu, saya sedikit-sedikit bertanya juga tentang kehidupan masyarakat di sana kepada Pak Slamet. Soal transportasi misalnya. Penduduk sangat mengandalkan truk dan motor. Untuk kegiatan sehari-hari, mayoritas mereka menggunakan sepeda motor. Karena itu, beberapa hari sekali biasanya Pak Slamet diminta penduduk untuk membelikannya bensin untuk kebutuhan masyarakat di sana. Alasan kami berhenti saat itu juga untuk menyerahkan bensin kepada salah satu pedagang bensin eceran di sana.
(Sepeda motor dan truk, transportasi sehari-hari penduduk Ranu Pani)
Tak jauh dari tempat saya berhenti, ternyata ada seorang penduduk yang sedang mengisi air bersih. Kamera saya arahkan ke tempat itu. Di Ranu Pani, yang berada di ketinggian dua ribu meter di atas permukaan laut dengan kontur yang beragam memang di beberapa tempat tak ada sumber air. Karena itu mereka perlu mengambil air di tempat yang airnya melimpah untuk kebutuhan sehari-hari. Terutama kebutuhan air bersih untuk konsumsi.
(Seorang penduduk sedang mengisi dirigen kosong di salah satu sumber air bersih di Ranu Pani)
Di pagi hari itu, para petani mulai bergerak ke ladangnya masing-masing. Anak-anak juga turut serta membantu. Yang laki-laki memanggul cangkul untuk mengolah tanah-tanah mereka. Yang perempuan membawa bekal untuk keperluan di ladang yang memang jauh dari rumah. Saya terpesona melihat gairah hidup, semangat hidup semacam ini. Betapa hidupnya hidup yang sederhana ini.
(Keseharian anak-anak Ranu Pani, membantu orang tua di ladang)
Pukul delapan pagi, kami sudah sampai di pos perijinan pendakian, Pos Ranu Pani. Di sini kami dapat melihat danau yang indah, Ranu Pani. Tapi, kami hanya menikmatinya saja dari pos perijinan. Tanpa mengambil gambar sama sekali. Saya takut baterai kamera saya habis karena belum sempat di charger sejak dari Jakarta beberapa hari lalu. Saya akan menggunakannya di beberapa tempat saja saat pendakian dimulai nanti.
Pukul delapan pagi itu juga kami segera mengurus perijinan. Saya menyerahkan semua persyaratan yang diminta, yaitu fotocopy surat keterangan sehat, KTP, dan selembar materai 6000. Tidak terlalu sulit untuk mengurus perijinan di sana. Semua berjalan lancar saja.
Di sekitar pos perijinan banyak pendaki yang beristirahat setelah selesai melakukan pendakian ke Semeru. Saya sempat berbincang-bincang. Ternyata banyak kawan dari Jakarta. Saya bertanya juga tentang kondisi cuaca terakhir dan kondisi jalan yang baru dilalui para pendaki itu. Di samping itu juga bertanya apakah ada tim pendaki lain di atas.
Dari perbincangan itu, pendaki yang mungkin masih ada hanya dua kelompok kecil saja. Kata seorang pendaki, di sana saat itu sudah sangat sepi. Hampir semua sudah turun. Jadilah hanya kami bertiga yang melakukan pendakian saat itu. Tapi saya justru senang juga. Menikmati alam Semeru, dengan hanya kami bertiga manusianya. Hanya kami bertiga yang akan mengusik sunyinya keindahan alam para dewa.
Selesai mengurus perijinan, saya berganti pakaian dengan pakaian jalan yang sudah saya siapkan. Kaos biru, celana pendek biru tua, dan sepatu trekking. Selesai berganti pakaian, kami bertiga mencari sarapan. Pilihan kami saat itu adalah membeli sarapan di sebuah warung yang terbuat dari rangkaian bambu dan kain terpal sederhana di pinggir danau Ranu Pani, dekat Pos Tim SAR Semeru.
Nikmat sekali sarapan saya pagi itu. Walaupun hanya dengan nasi putih ditambah kecap dan bakwan goreng. Mungkin karena makanan itu masih hangat dan perut sudah dingin keroncongan, lapar. Atau mungkin juga karena keramahan ibu-ibu penjualnya. Tapi, Alfi yang duduk di samping saya sepertinya sedang tidak nafsu makan pagi itu, mungkin karena menu yang dipilihnya berbeda, Bakso. Saya lihat sarapannya tidak habis. Dalam hati saya, sangat disayangkan menyia-nyiakan makanan di saat akan memulai hari.
Usai sarapan, kami istirahat lagi sejenak. Menikmati manisnya gula dalam teh hangat di gubuk yang sederhana. Pukul sembilan lebih tiga puluh menit saya mulai mengenakan carrier saya. Dinda dan Alfi juga sudah siap dengan daypack mereka di punggung. Cuaca pagi itu benar-benar cerah. Kami memulai pendakian di saat alam begitu indah menampakkan dirinya. We come, Mahameru! (author: saca firmansyah)

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda