Jumat, 05 November 2010

Penyadaran dan Pembebasan: Perkenalan Singkat dengan Filsafat Pendidikan Paulo Freire

Ahli-ahli ilmu sosial, terutama pada pendidik, akhir-akhir ini banyak mengutip dan mengkaji buah pikiran dan hasil karya Paulo Freire. Dua buah bukunya, yakni Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Opressed, Penguin Books, 1978; edisi Indonesia diterbitkan oleh LP3ES, 1985), dan Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan (Cultural Action for Freedom, Penguin Books, 1977), adalah dua buah karya Freire yang paling sering dikutip sehingga telah menjadi bacaan klasik dalam kepustakaan ilmu sosial saat ini. Kedua buku tersebut menjadi bahan dasar makalah singkat ini.
Kekuatan yang menjadi daya tarik utama Freire adalah kejujurannya untuk menyatakan, tanpa tedeng aling-aling, kondisi kemanusiaan kita saat ini yang telah sedemikian rupa rapuhnya dimana kita sendiri justru sering bersikap tidak manusiawi menghadapinya. Sama seperti rekan-rekannya para pemikir pembaharu Amerika Latin, Freire telah lahir dan tampil dengan suara lantang menyatakan sikapnya terhadap kenyataan sosial yang ada, dan gaya seperti itu umumnya memang selalu menarik.
Tetapi kekuatan Freire yang sesungguhnya terletak pada kekuatan pemikiran yang menukik langsung pada pokok-pokok persoalan dengan bahasa pengucapan yang sederhana, sehingga para pemerhati filsafat tingkat pemula atau orang awam sekalipun akan cukup mudah untuk memahaminya. Freire mempu menjabarkan pemikiran-pemikiran filsafat yang bertakik-takik (sophisticated) ke dalam aktualisasi masalah-masalah kehidupan keseharian serta tuntutan-tuntutan praktis abad mutakhir saat ini, terutama dalam bidang pendidikan dalam kaitannya dengan seluruh ikhtiar pembangunan nasional yang menjadi “cultural focus” dunia kita saat ini. Berbeda dengan banyak pendahulunya, Freire tidak berhenti dan selesai pada besaran-besaran pemikiran dan perdebatan terminologis yang tidak perlu, tetapi langsung menerapkan dan melakukan gagasannya sendiri dalam suatu rangkaian program aksi yang cukup luas, terutama di Chili dan di negara kelahirannya sendiri di Brazilia. Inilah kekuatan Freire, yang pada tingkat tertentu mungkin saja menjadi kelemahannya sekaligus.

MANUSIA DAN DUNIA: PUSAT MASALAH
Filsafat Freire bertolak dari kenyataan bahwa di dunia ini ada sebagian manusia yang menderita sedemikian rupa sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain, justru dengan cara-cara yang tidak adil. Dalam kenyataannya, kelompok manusia yang pertama adalah bagian mayoritas umat manusia, sementara kelompok yang kedua adalah bagian minoritas umat manusia. Dari segi jumlah ini saja keadaan tersebut sudah memperlihatkan adanya kondisi yang tidak berimbang, yang tidak adil. Inilah yang disebut oleh Freire sebagai ”situasi penindasan”.
Bagi Freire, penindasan, apapun namanya dan apapun alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi ini bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in The Culture of Silence).1 Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi manusia sesamanya.
Karena itu tidak ada pilihan lain, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) adalah pilihan mutlak. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, namun ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidaklah mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menjadi suatu keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk mengubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Inilah fitrah manusia sejati (the man’s ontological vocation).
Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau yang mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti atau mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis”2-nya ia merubah dunia dan realitas. Karena itulah manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki naluri, tapi juga memiliki kesadaran (consciousness). Manusia memiliki kepribadian, eksistensi. Ini tidak berarti manusia tidak memiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit-situations) yang mengekangnya. Jika seseorang yang menyerah pasrah pada situasi batas itu, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, maka sesungguhnya ia tidak manusiawi lagi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator) sejarahnya sendiri. Dan, karena seseorang hidup di dunia dengan orang-orang lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses “menjadi” (becoming) yang tak pernah selesai. Ini bukan sekedar adaptasi, tapi integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, menjadi bebas. Ini adalah tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Humanisasi, karenanya adalah juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian, maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.

PEMBEBASAN: HAKEKAT TUJUAN
Bertolak dari pandangan filsafatnya tentang manusia dan dunia tersebut, Freire kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakekat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan membaharu.
Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berpikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak terutama berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
  1. Pengajar
  2. Pelajar atau anak didik, dan
  3. Realitas dunia
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar dari padanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan pada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak3. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:
  1. Guru mengajar, murid belajar
  2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan
  4. Guru bicara, murid mendengarkan
  5. Guru mengatur, murid diatur
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
  7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
  8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
  9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
  10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam ini menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”4. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah lahir lagi manusia-manusia penindas yang baru. Jika kemudian mereka menjadi guru atau pendidik juga, maka daur penindasan pun segera dimulai lagi dalam dunia pendidikan, dan seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk mmelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaharuan. Bagi Freire, sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia5. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti yang berarti menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola pendidikan semacam itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, tetapi tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.6
Maka akhirnya tibalah Freire pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan membaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan memang harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas itu. Inilah makna dan hakekat praxis itu, yakni:
praksis

Dengan kata lain, “praxis”, adalah “manunggal karsa, kata, dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara, dan berbuat7.
Makna “praxis” tidak memisahkan ke tiga fungsi atau aspek tersebut sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai manusia seutuhnya. Jika hal itu dibuat terpisah, maka akan ada dua kutub ekstrem yang terjadi, yakni pendewaan berlebihan pada kata-kata (sacrifice of verbalism), atau pendewaan berlebihan pada kerja (sacrifice of activism). Prinsip “praxis” inilah yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire. Setiap waktu dalam prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan itu direfleksikan kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang.
alurpikir
Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, maka setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannya sebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan bersamaan menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.
Jadi keduanya (murid dan guru)8 saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi hubungan subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama. Membandingkannya dengan pendidikan “gaya bank” yang bersifat antidialogis, Freire menggambarkannya secara skematis sebagai berikut:
dialogis-anti

PENYADARAN : INTI PROSES
Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Dengan menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire secara langsung dan gambling tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientisasi). Pembebasan dan pemanusiaan manusia, hanya bisa dilaksanakan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Seseorang yang tidak menyadari realitas dirinya dan dunia sekitarnya, tidak akan pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia butuhkan, tidak akan pernah bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya yang ingin ia capai. Jadi mustahil memahamkan pada seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaannya dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.
Dengan kata lain, langkah awal dan paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire adalah penyadaran seseorang pada realitas dirinya dan dunia sekitarnya. Karena pendidikan adalah suatu proses yang terus-menerus, suatu “commencement”, yang selalu “mulai dan mulai lagi”, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sehati (inherent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Jadi, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakekat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti dan mandeg, ia mesti berproses terus, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadarannya kesadaran” (the consice of the consciouness).
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang itupun mulai masuk ke dalam proses mengerti dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat tersebut.
Maka di sini pulalah letak dan arti penting dari kata-kata, karena kata-kata yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang benar, dengan cara benar, adalah menyatakan kata-kata yang memang tersadari atau disadari maknanya, dan itu berarti menyadari realitas, berarti telah melakukan “praxis”, dan akhirnya ikut merubah dunia. Tetapi kata-kata yang dinyatakan sebagai bentuk pengucapan dari dunia kesadaran kritis, bukanlah kata-kata yang diinternalisasikan dari luar tanpa refleksi, bukan sloga-slogan, tetapi dari perbendaharaan kata-kata orang itu sendiri untuk menamakan dunia yang dihayatinya sehari-hari, betapapun juga sederhananya.
Jadi, pendidikan mestilah memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar ini, Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi) pada tingkat yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang sudah tersusun secara mekanis. Berdasarkan pengalaman dan dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf (terutama di Brazilia dan Chili), Freire kemudian menyusun suatu konsep pendidikan melek-huruf fungsional menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema pokok” (generative themes) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, konsep pendidikan melek-huruf fungsional Freire ini terdiri dari tiga tahapan utama:
  1. Tahap kodifikasi dan dekodifikasi: merupakan tahap pendidikan melek-huruf elementer dalam “konteks konkrit” dan “konteks teoritis” (melalui gambar-gambar, cerita rakyat, dan sebagainya)
  2. Tahapan diskusi kultural: merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematik dengan penggunaan “kata-kata kunci” (generative words).
  3. Tahap aksi kultural: merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya dimana tindakan setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.
Dari kawasan timur-laut Brazilia, pendidikan melek-huruf fungsionalnya Freire lalu menyebar ke hampir semua negara Amerika Latin, kemudian direkomendir oleh UNESCO sebagai model pendidikan alternatif bagi masyarakat pedesaan miskin yang terkebelakang dan buta-huruf, yang akhirnya (atas bantuan dana Bank Dunia) dilaksanakan di semua negara berkembang anggota PBB.

FREIRE: BELAJAR DARI PENGALAMAN
Ikhtisar singkat tentang filsafat pendidikannya Paulo Freire ini mungkin tidak sampai menggambarkan kelengkapan dan ke dalam gagasannya, bahkan mungkin akan mengesankan bahwa gagasan Freire bukanlah gagasan yang benar-benar baru (Freire sendiri dengan rendah hati mengakui bahwa gagasannya adalah akumulasi dari gagasan para pemikir pendahulunya: Sarter, Althusser, Mounier, Ortega Y. Gasset, Unamuno, Martin Luther King Jr, Che Guevara, Fromm, Mao Tse Tung, Mercuse, dan sebagainya). Namun satu hal pasti adalah bahwa Freire telah menampilkan semua gagasan besar itu secara unik dan membaharu, dengan rangkaian aksi penerapan yang luas, dalam sektor yang paling dikuasainya sebagai seorang ahli, seorang mahaguru, Sejarah dan Filsafat Pendidikan di Universitas Recife, Brazilia.
Freire juga lahir di kota ini pada tahun 1912, meraih gelar doktor pendidikannya juga di Universitas Recife pada tahu 1959, dan antara tahun 1964-1969 ia bekerja sebagai konsultan UNESCO di Chili sambil menjalani masa pembuangan dan pengasingan politiknya oleh pemerintah militer Brazil saat itu. Freire kemudian menjadi guru besar tamu di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Harvad, Amerika Serikat, lalu menjabat sebagai Penasehat Ahli Kantor Pendidikan Dewan Gereja Sedunia di Jenewa.
Jika latar belakang akademis dan intelektual Freire bisa menjelaskan kompetensinya di bidang pendidikan, maka latar belakang kehidupan pribadinya akan lebih menjelaskan mengapa ia kemudian mencurahkan keahliannya itu khusus bagi masyarakat kaum tertindas. Keluarga Freire adalah keluarga golongan menengah yang kemudian bangkrut dan menderita kemiskinan bersama mayoritas penduduk Recife yang memang miskin. Pada usia 8 tahun, Freire malah dengan tegas bersumpah bahwa seluruh hidupnya nanti akan diabdikannya bagi kaum miskin dan tertindas di seluruh dunia. Ia benar-benar mentaati “sumpah kanak-kanak”nya. Ia memang mengenal benar dunia kaum yang dibelanya itu, karena ia sendiri memang berasal dari sana. Ia belajar dari pengalamannya, realitas dirinya dan dunianya, dan merumuskan sebuah falsafah, konsep, gagasan, sampai ke metodologi pengetahuan dan penerapannya dengan cara yang sangat memukau. Pernyataan-pernyataannya memang sering kontroversial, amat meletup-letup, dan memancing banyak pertanyaan, bahkan juga kritik.[9] Tapi fakta yang diajukannya adalah realitas tak terbantah di hampir semua negara Dunia Ketiga. Atas dasar itulah, konsep pendidikan Freire sampai sekarang tetap bernisbah untuk dikaji terus dan dikembangkan. Ia memang sebuah gagasan yang menantang, meskipun diungkapkan dalam gaya yang sederhana, dan tetap terbuka untuk dikaji keabsahannya menurut realitas waktu, tempat dan orang-orang dimana ini diterapkan.


1 Kebudayaan bisu, menurut Freire, adalah “kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri”, sehingga “diam” nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan dan harus ditaati.
2PRAXIS (Yunani) = PRACTICE (Inggris) = KEGIATAN (Indonesia) (lihat Wiratmo Sukito, dalam Prisma, Nomor 3/VIII/Maret 1979). PRAXIS adalah pemahaman tentang dunia dan kehidupan serta hasrat untuk mengubahnya (lihat Brian McCall, “Peralihan ke Arah Berdikari”, dalam Masyarakat Studi Pembangunan, Nomor 2/III/LSP/1981). PRAXIS adalah konsep filsafat tentang aktivitas manusia (lihat Adolfo Sanches Vasquez, The Philosophy Of Praxis, Merlin Books, London, 1978).
3 Dalam kepustakaan ekonomi, anak didik atau manusia terpelajar (lulusan sebuah lembaga pendidikan atau sekolah) disebut dengan istilah “earning-assest” dari proses produksi, jadi merupakan faktor produksi yang berfungsi instrumental. Tidak kurang dari “fonset erigo”-nya ilmu ekonomi modern, yakni buku “The Wealth of nation” dari Adam Smith yang menyatakan : “… an educated man is sort of expensive machines, may be compared to one of those expensive machine...”. Adalah Alfred Marshall yang kemudian memberikan tambahan penjelasan yang lebih baik bahwa: “… the first point to witch we have to direct out attention is the fact that human agents of production`are not bought and sold as machinery and other material agents of worker sella his work, but the himself remains his own property: those who bear the expenses or rearing anda educating him receive but very little of price that is paid for his service iin later gears…” (lihat: Mark Blang, An Introduction to the Economics of Education, Penguin London, 1976).
4 Istilah ini berasal dari ahli psikoanalisa kontemporer Erich Fromm. “Nekrofili” adalah rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan. “Biofili” sebaliknya adalah kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan, yang maknawiah (lihat Erich Fromm, The Heart of Man, Routledge & Keegan Paul, NY, 1966).
5 Dalam kepustakaan kependidikan, fungsi lembaga pendidikan biasanya dirumuskan sebagai: (1) sarana pengembangan sumberdaya manusia untuk pertumbuhan ekonomi, (2) sarana sosialisasi nilai dan rekonstruksi sosial, (3) sarana penyadaran dan pembangunan politik. Karena pendidikan memang tidak netral, maka berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik yang sedang direstui, sering mmebuatnya tidak berdaya sebagai wadah dan proses induksi ke dalam budaya politik, sebagai proses rekruitmen kader politik, pihak penguasa (lihat James A Colemen, Education and the Political Development, Princeton, New Jersey, 1969). Beberapa cendekiawan di Indonesia saat ini sudah mulai mempertanyakan fungsi klasik “in loco parentis” lembaga pendidikan semacam itu (lihat misalnya tulisan-tulisan YB Mangunwijaya, T. Mulya Lubis dan Johannes Muller, semuanya dalam Prisma, Nomor 7/VIII, LP3ES, Jakarta, 1980).
6 Itulah sebabnya mengapa Paulo Freire juga mengecam kaum marxis, golongan yang paling getol mencap diri mereka sebagai kaum paling revollusioner, atau terhadap siapa saja yang mencap dirinya dan menganjurkan revolusi semata-mata sebagai alat perebutan kekuasaan dan hegemoni yang melahirkan regimentasi, tetapi melupakan penataan paling mendasar pada sikap umum masyarakat yang telah terlanjur menginternalisasikan nilai-nilai kebudayaan bisu yang diwariskan berabad-abad oleh sistem pendidikan mereka. “Kaum revolusioner” semacam itu, bagi Freire, bukanlah orang radikal, tapi orang-orang fanatik dan sektorian yang naïf.
7 Untuk penjelasan yang lebih lengkap, terutama dalam kaitannya dengan penerapan konsep dasar ini dalam kegiatan pengembangan masyarakat, seperti dalam penelitian, lihat Budd L. Hall, Creating Knowledge, Breaking Monopoly: Research, participation and Development, International Symposium on Action Research and Scientific Investigastion, Cartagena, Colombia, July 1977: University of Massachusetts, unpublished paper.
8 Freire menggunakan suatu istilah yang agak unik dan njlimet tentang ini, yakni: “guru-yang-murid” (teacher pupil) dan “murid yang guru” (pupil teacher), yang pada dasarnya sekedar menegaskan bahwa baik guru maupun murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan, dan pengalamannya sendiri-sendiri terhadap obyek realitas yang mereka pelajari, sehingga bisa saja pada suatu saat murid menyajikan pengetahuan, penghayatan dan pengalamannya tersebut sebagai suatu “insight” bagi sang guru, seperti yang secara klasik menjadi tugas guru selama ini.
[9] Salah satu kritik datang dari Peter L. Berger yang menyebut gagasan penyadaran (konsistensi) adalah suatu “kesombongan” tersendiri (lihat Peter L. Berger, Piramida Pengurbanan Manusia, LP3ES, Jakarta, 1983). Lepas dari kritiknya sendiri yang memang masih kontroversial, Berger adalah juga Centre of Intercultural Documentation (CIDOC) di Cuernavaca, Mexico, seperti juga Freire sendiri, Ivan Illich, Everett Reimer, dll.
Petunjuk Lapangan Sekolah Lapangan Daerah Tangkapan Air (ESP, 2007)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda