Rabu, 17 November 2010

Qurban Menjangan

Seiring dengan terbenamnya matahari maka rezim cahaya merah di ufuk barat perlahan-lahan digulingkan tirani hitam kelabu. Ahmad menyaksikan sedikit permainan kekuasaan Tuhan yang cukup menawan itu, pergantian warna langit dari merah keemasan menuju hitam kelabu, senjakala. Usai senjakala, pada gelap malam yang sempurna, biasanya muncul berjuta bintang yang terlihat berwarna biru. Tapi, tetap saja bulan yang sendiri kadang lebih indah dengan cahaya kuningnya.

AHMAD biasa menyaksikan semua itu dari atas bukit yang tak jauh dari belakang rumahnya. Matanya kadang-kadang terasa sakit setelah menyaksikan keindahan cahaya senja. Ah, bukankah memang keindahan dan rasa sakit sering datang bergilir bagi penduduk kampung. Entah yang mana yang akan datang lebih dahulu, tak pernah terlalu mereka risaukan, tak pernah terlalu disikapi berlebihan. Sebagaimana mereka tak pernah mengeluh lelah ketika mesti mengolah tanah berbulan-bulan, dan tak juga terlalu bergembira ketika masa panen tiba. Semua disikapi sewajarnya saja, sederhana saja. Karena itu pula Ahmad tak pernah mengeluh soal sakit matanya.

Setelah puas menyaksikan rutinitas alam di sore hari yang selalu diiringi dengan suara bedug yang bergema ke seluruh penjuru kampung, Ahmad segera bergegas menuruni bukit. Disusurinya jalan setapak menuju masjid tempat ia biasa mengerjakan sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Waktu sholat berjamaah bagi Ahmad adalah waktu yang sangat menyenangkan. Selain ramai dengan penduduk kampung yang berkumpul setelah seharian berada di ladang dan sawah, usai sholat berjamaah ia juga dapat bermain-main dengan teman sebayanya. Tetapi, seringkali anak-anak bermain-main tanpa tahu waktu. Membuat orang-orang tua menjadi jengkel karena merasa kekhusyukan ibadahnya terganggu oleh canda yang dibuat oleh anak-anak saat sholat sedang berlangsung.

Sebelum sampai masjid, di bawah bukit di tepi sawah yang diolah oleh guru mengajinya, Ahmad berhenti untuk menyucikan dirinya dengan air segar yang mengucur dari potongan bambu yang ditancapkan di tanah, di dinding parit yang lebih tinggi di sisi timur persawahan. Ahmad lebih senang berwudhu di tempat itu daripada di masjid. Menurutnya, airnya lebih jernih dan lebih menyejukkan dibandingkan dengan air yang terdapat di masjid yang kadang sudah bercampur lumpur dan buangan air kumur para jamaah yang berwudhu di sana. Selain itu, ia bisa lebih bebas karena berada di ruang terbuka dan tak ada orang-orang tua yang akan segera mengusirnya kalau ia justru asyik bermain-main air bersama teman-temannya saat berwudhu.

Angin bertiup lebih kencang sore itu. Gesekan daun-daun dan bulir padi yang belum berisi bersaing dengan jeritan jangkrik dan nyanyian katak di tengah sawah. Kaki Ahmad yang terakhir dibasuh gemetar kedinginan. Badannya yang kurus pun ikut bergetar, juga menggigil kedinginan. Tak menyerah dengan dingin, buru-buru ia berbalik menantang arah datangnya angin. Menghadapkan badan ke arah kiblat, membiarkan wajah tersapu angin. Ia angkat kedua tangannya, ditengadahkannya kepala ke langit, sambil mulutnya terus komat-kamit melafalkan do’a setelah wudhu yang diajarkan guru mengajinya beberapa bulan lalu saat ia mulai belajar sholat.

Langit yang hitam tanpa warna kemerah-merahan dan kilatan cahaya menimbulkan garis senyum di bibir Ahmad yang sedikit-sedikit masih komat-kamit dengan do’a wudhunya. Ahmad yakin malam itu akan cerah, akan ada banyak waktu untuk bermain-main dengan teman-temannya. Ia yakin tak akan datang hujan deras yang disertai petir seperti malam-malam sebelumnya. Apalagi bulan sabit di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah juga bersinar terang tanpa terhalang awan ataupun kabut yang sering muncul dari atas pegunungan.

***

“Ahmad, kenapa kamu masih di sini?” tanya Kang Abid, salah satu guru mengaji Ahmad yang tiba-tiba saja muncul.

“Ayo cepat, kita segera ke masjid! Waktu maghrib sebentar lagi habis,” kata Kang Abid yang langsung menuntun Ahmad menuju masjid tanpa menunggu jawaban dari pertanyaan yang barusan dilayangkannya ke Ahmad.

Semenjak tinggal menetap di kampung ini, baru dua hari ini Kang Abid terlihat telat untuk sholat maghrib berjamaah. Barangkali ia terlalu lelah hingga ketiduran setelah seharian mencangkul ladang milik Kyai Oha di barat kampung yang akan ditanami singkong. Ladang itu memang cukup luas, terletak di atas bukit dekat tanah wakaf yang dimanfaatkan untuk pemakaman bagi penduduk kampung.

Kira-kira tiga tahun yang lalu Kang Abid mulai menetap di kampung ini. Kang Abid memang bukan penduduk asli kampung ini. Ia hanya pendatang yang datang tidak jelas darimana asalnya. Dari desas-desus yang berhembus di antara penduduk kampung, Kang Abid dikabarkan sedang dicari-cari polisi karena telah terlibat perkelahian yang menewaskan seorang rentenir yang menagih paksa nenek penjual sayur di Pasar Anyar. Tapi tak ada yang benar-benar tahu.

Sampai kini pun cerita itu tidak pernah terbukti benar. Kalau benar, sudah pasti pihak kepolisian akan mendatangi kampung ini. Toh, cerita itu sudah sampai juga ke kampung sebelah, dan kampung ini juga tidak jauh dari kantor Polsek setempat.

Dari bulan ke bulan, latar belakang dan identitas Kang Abid tetap tidak jelas. Penduduk kampung juga enggan bertanya lebih jauh. Apalagi sejak Kyai Oha, tokoh agama sekaligus juga sebagai tokoh masyarakat yang paling sepuh memberikan tempat kepada Kang Abid di rumahnya. Kang Abid juga semakin diterima warga kampung setelah mengajarkan anak-anak mereka mengaji, menggantikan posisi Kyai Oha yang sudah terlalu tua untuk membimbing anak-anak yang susah diatur. Di samping itu, Kang Abid juga menjadi orang kepercayaan Kyai Oha untuk mengolah ladang yang hasilnya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kegiatan-kegiatan rutin yang diadakan di masjid.

***

Dengan tergesa-gesa, Ahmad dan Kang Abid terus menyusuri pematang sawah. Sedikit-sedikit mendaki tanah yang licin bekas hujan tadi pagi. Sesampainya di masjid, mereka segera sholat maghrib berjamaah, hanya berdua. Jamaah lain yang ada di dalam masjid sedang asyik dengan lantunan dzikir yang dilafalkan keras-keras, sambil memejamkan mata berusaha khusyuk menyatukan diri dengan bacaan-bacaan dalam dzikirnya.

Tidak seperti biasanya, Ahmad tidak melihat anak-anak lain selain dirinya di dalam masjid itu. Di halaman masjid juga tidak dilihat teman-temannya saat ia akan masuk tadi. Meskipun sering diusir pergi oleh Kang Enjen, marbot masjid yang juga sering menjadi imam sholat, biasanya teman-temannya tidak langsung pulang ke rumah melainkan bermain-main di halaman masjid sampai orang-orang menyuruh mereka pulang karena malam yang semakin larut.

Belum sempat berdo’a setelah sholat maghrib, waktu Isya telah masuk. Kang Enjen keluar masjid untuk memukul bedug, Sebelum bedug sempat dipukul, Ahmad menawarkan diri untuk melakukannya. Dipukulnya bedug dengan nada yang sama seperti yang rutin dilakukan Kang Enjen pada saat-saat sebelumnya. Pukulan bedug seperti mempunyai pakem tersendiri di kampung ini. Maklum, pukulan bedug bisa mempunyai beberapa makna. Selain berarti sebagai panggilan untuk shalat, ada pula yang berarti berita duka karena ada penduduk yang meninggal. Anak-anak di kampung diajarkan pula untuk memukul bedug sebagai pelajaran mengajinya.

Usai shalat isya berjamaah, setelah dzikir yang tidak lama seperti waktu maghrib tadi, para jamaah yang hadir segera membentuk lingkaran. Ahmad dan Kang Abid terlihat juga dalam lingkaran itu. Mereka membicarakan soal perayaan hari raya qurban. Sampai malam itu, dua hari sebelum hari raya qurban, belum ada seorang pun dari penduduk yang menyerahkan hewan qurbannya.

“Tahun ini memang hasil panen warga kurang bagus,” kata Kyai Oha memaklumi keadaan yang terjadi.

“Apalagi mereka yang bertani buncis dan mentimun. Hujan memang seringkali turun, tapi justru membuat hasil panen buncis dan mentimun tempo lalu kurang memuaskan.”

“Betul kyai. Saya juga merasakan hal itu,” kata Pak Enang yang duduk di samping Kyai Oha. “Bahkan, panen yang ada tidak mendatangkan untung sama sekali, impas antara modal yang dikeluarkan untuk bertani dengan hasil penjualan yang dihasilkan.”

“Ya, saya cukup mengerti Pak Enang. Harga pupuk tempo lalu memang juga naik harganya. Sementara hasil panen lebih banyak yang busuk. Kita tidak bisa mengandalkan mereka yang bercocok tanam untuk berqurban di tahun ini.”

“Kyai, sepertinya selain kita yang bertani, mereka yang sedang merintis untuk berternak kambing pun tidak dapat kita harapkan untuk berqurban di tahun ini,” Pak Upen, kepala kampung yang cukup sederhana dengan peci hitam yang kian pudar warnanya angkat bicara.

“Kambing yang saat ini diternak oleh penduduk masih belum cukup umur untuk diqurbankan, rata-rata baru berusia tiga bulan,” kata Pak Upen memberikan penjelasan. “Kambing-kambing itu pun sumbangan dari dinas kehutanan, untuk program pengembangan masyarakat sekitar hutan yang diberikan pada saat peringatan kemerdekaan kemarin. Mungkin sewaktu-waktu akan dikontrol juga, katanya untuk evaluasi program mereka.”

“Pemilik kerbau yang ada juga tidak mungkin mengorbankan kerbaunya pada hari raya qurban tahun ini Kyai,” Kang Abid angkat bicara juga sambil membenarkan letak kepala Ahmad yang telah tertidur di pangkuannya. “Daripada jadi daging potong, tenaga kerbau Pak Toha dan Pak Badri lebih banyak bermanfaat bagi penduduk kampung untuk membajak sawah kita.”

Memang, penduduk kampung masih mengolah tanah dengan perlengkapan tradisional. Di kampung yang terdiri dari delapan puluh dua kepala keluarga, hanya Pak Toha dan Pak Badri yang mempunyai kerbau. Kerbau-kerbau mereka secara bergantian digunakan untuk membajak sawah-sawah yang ada di kampung itu. Sebagai ongkosnya, kadang penduduk kampung hanya mampu membayar saat panen, itu pun terkadang tidak dengan uang, melainkan dengan hasil panen yang dihasilkan beberapa bulan kemudian.

“Ya, kita pasrah saja. Kalaupun lebaran qurban tahun ini akan seperti lebaran qurban pada tujuh tahun lalu, tidak ada pemotongan hewan qurban, kita mesti menjalaninya dengan penuh keikhlasan,” kata Kyai Oha. “Saya ingatkan agar kita dapat menjalankan puasa sunnah besok. Mudah-mudahan Allah terima puasa kita sebagai bentuk qurban kita yang paling sederhana di tahun ini.”

Angin malam yang dingin berhembus masuk ke dalam masjid. Kyai Oha merapatkan jaketnya, jamaah lain juga melakukan hal yang sama. Malam semakin larut. Cahaya bintang yang terlihat biru bertebaran di langit. Bulan sabit yang bersinar terang tanpa teralang awan seakan memberi pancaran energi kepada penduduk untuk terus melanjutkan hari esok dengan penuh semangat. Membawa arit ke ladang, membersihkan hama dan memotong rumput untuk makan ternak.

Sambil mengucapkan shalawat dan bersalam-salaman, para jamaah satu persatu keluar dari masjid menuju rumahnya masing-masing. Kang Abid mesti menggendong Ahmad yang sudah terlelap untuk pulang ke tempatnya tinggal, rumah Kyai Oha. Ahmad yang telah menjadi yatim sejak kecil memang seringkali menginap di rumah Kyai Oha yang sudah seperti kakeknya sendiri.

***

Pada senjakala menjelang Idul Adha, Ahmad kembali menaiki bukit. Memandangi pergantian warna merah keemasan menuju hitam kelabu yang memukau.

Dari atas bukit, di batas hutan dan semak belukar yang menjadi tanda batas kampung, muncul suara gesekan dedaunan yang cukup kuat. Ahmad mendekati sumber suara itu perlahan-lahan. Di dalam semak belukar dilihatnya hewan berkulit coklat dengan kaki empat yang terjerat alang-alang yang membentuk simpul, menghambat gerak hewan untuk berlari menghindar.

Seakan dikunci mati, hewan yang biasa disebut Menjangan oleh penduduk kampung tampak pasrah dengan kedatangan Ahmad. Dengan sigap Ahmad mengalungkan kain sarung yang biasa dibawanya ke leher Menjangan. Dibuatnya simpul sederhana agar hewan itu tak dapat lari.

Dengan tarikan yang kuat, Ahmad segera menyeret hewan itu menuruni bukit menuju masjid. Di tengah pematang sawah tempatnya kemarin mengambil wudhu, ia bertemu dengan Kang Abid. Mendengar cerita Ahmad, Kang Abid dengan semangat membantu Ahmad menggiring hewan itu menuju masjid. Teman-teman sebaya Ahmad yang melihatnya satu persatu juga turut serta mengiringi. Sepanjang jalan Ahmad jadi pusat perhatian bak pahlawan pulang dari medan perang.

Di masjid, orang-orang tua juga memandangi Ahmad dengan senyum yang begitu lain dari senyum kemarin. Ada perasaan yang sangat senang. Apalagi ketika Ahmad mengatakan bahwa hewan itu akan dipersembahkan untuk qurban besok.

Gema takbir pun terus bersahut-sahutan dengan lebih bersemangat. Para jamaah tak lagi terlalu risau dengan ketersediaan hewan qurban. Besok, mereka akan memotong hewan qurban yang dipersembahkan Ahmad, Menjangan. [ ]

Kampung Gunung Batu, November 2010 M
Dzulhijah 1431 H
14.23 PM
(author: sacafirmansyah)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda