Selasa, 30 November 2010

Hujan Di Halte Jalan Itu

Hari biasa berkata bahwa setiap kali hujan turun, setiap kali itu pula ia dapat melihat wajah-wajah yang kecewa. Tapi, tidak sedikit juga ia lihat wajah-wajah yang tersenyum bahagia. Tersenyum bahagia? Entahlah, tersenyum bahagia atau tersenyum sinis atas kehadiran makhluk bernama hujan yang tak pernah diundangnya. Tapi, bukankah senyum lebih banyak berarti senang dan bahagia? Ah, entahlah. Kalau kalian sempat mampir di halte jalan itu ketika hujan turun, kalian pasti akan melihat bagaimana ragam wajah-wajah itu semua. Atau, jangan-jangan wajah kalian-lah yang diperhatikan Hari selama ini. Wajah yang kecewa di saat hujan turun, wajah yang bahagia di saat air membasahi pohon-pohon akasia dan menggenangi aspal yang makin hitam setelah dipanggang matahari siang tadi.

ORANG-ORANG yang lewat jalan itu memang orang-orang yang sibuk. Setiap orang memiliki rutinitas yang padat. Setiap hari-hari mereka selalu penuh dengan jadwal pertemuan dengan rekan bisnisnya. Karena waktu adalah uang, maka tidak boleh ada waktu yang terlewati dengan sia-sia. Apalagi hanya sekedar menunggu hujan reda sambil menikmati kopi hangat yang dijajakan Hari dengan sepeda onthel-nya yang khas.

Kalian tidak akan mendapati orang-orang di sana dalam keadaan diam. Semua serba bergerak cepat, bergerak dinamis. Dinamis? Tunggu, bukankah banyak yang bergerak cepat untuk rutinitas yang sama? Dan bukankah setiap gerak dengan rutinitas yang sama lebih tepat dikatakan sebagai gerak statis? Semua bergerak cepat, tapi statis? Bukankah begitu?

Ah, lagi-lagi entahlah. Yang jelas, jika kalian mampir di halte jalan itu tidak akan kalian dapati orang-orang dalam keadaan diam. Kalaupun diam, kalian akan lihat mereka khusyuk membaca buku-buku motivasinya, atau entah mengerjakan apa dengan laptop mini-nya, barangkali juga sibuk dengan henpon atau blackberry­-nya.

Untuk yang terakhir itu, kalau tidak untuk kepentingan bisnis, ya sekedar untuk update status, berbagi cerita tentang rutinitas dan menuangkan segala keluh kesah di situs jejaring sosialnya. Sesibuk dan sekuat apapun manusia itu, bukankah perlu juga waktu untuk berbagi cerita? Jika dapat, juga berkeluh kesah?

“Lebih bijaksana menjaga kemampuan untuk menikmati hidup seutuhnya daripada memupuk uang,” tulis seseorang dalam status fesbuknya, mengutip salah satu kalimat dalam buku yang dibacanya sambil menunggu hujan reda di halte itu.

Entah–lagi-lagi entah—apakah  orang itu benar-benar memahami makna dari kata-kata yang dituliskannya atau tidak. Kalau kalian coba mengunjungi dinding fesbuknya, banyak sekali kutipan kata-kata bijak dari tokoh-tokoh terkenal sepanjang abad peradaban manusia.

Di halte jalan itu, Hari masih terus memandangi wajah-wajah yang sedikit basah oleh tetesan hujan. Tak lupa ia berikan senyum pada mereka yang tak sengaja bertemu muka, bertatap mata. Tapi, senyum tak selalu berbalas senyum. Salam pun bisa jadi tak terbalas. Kalau kalian berikan senyum, bisa jadi mereka malah menunduk, memandangi layar henpon atau blackberry-nya. Entah tombol-tombol apa saja yang mereka pijit dengan kedua jempolnya. Mungkin saja mereka memijit tombol titik dua lalu kurung tutup--:)--untuk membalas senyum Hari yang ramah itu. Siapa tahu?

“Haaahhhhh….. Ujan lagi, macet lagi… beteee…..!!!!” Seorang lainnya mengeluh dalam fesbuknya. Tapi tidak ada satu orang pun di sekitarnya yang tahu kalau ia sudah sebegitu beteeenya dengan keadaan itu. Yang jelas terlihat, wajahnya memang selalu tunduk memandangi layar henpon made in China yang di dalamnya terdapat fasilitas untuk fesbukan dan chatting.

“Halah, pake ujan lagi… batal deh ketemuan…..”

“Menunggu hujan reda, menikmati segelas kopi hangat…..”

“Ya Tuhan, cepat reda dong ujannya…..”

“Hujan=Banjir dan macet. Gimana nih kinerja yang ngaku ahlinya???” Tulis seorang yang lainnya, kali ini tidak di fesbuk, tapi di twitter.

***

ANGIN mulai bertiup kencang. Petir menggelegar dengan kilatnya yang berkelebat seperti pedang api di langit yang mendung, seakan-akan hendak membelah gedung-gedung tinggi di bawahnya. Tapi, gedung-gedung pencakar langit tetap kokoh berdiri, hanya daun-daun akasia di sisi halte jalan itu yang berguguran, beberapa rantingnya patah dan jatuh bersama butiran air ke bumi. Seiring dengan itu, terdengar teriakan dari beberapa orang wanita berpakaian blus rapi dengan sepatu hak tinggi yang berteduh membaur dengan pengguna motor yang juga ikut berteduh dan berjejal di halte yang tak seberapa luasnya itu.

Hari tak terlalu peduli dengan angin kencang dan gelegar petir dengan kilatnya. Ia hanya peduli dengan adukan pada seduhan kopi yang dipesan oleh beberapa orang dari wajah-wajah yang kecewa di halte itu. Juga jahe hangat yang dipesan wanita berpakaian blus coklat itu. Ia yakin dagangannya akan laku keras, habis tak bersisa. Senyum pun makin jelas tergambar dari garis bibirnya yang hitam. Di antara senyuman, keluar pula kepulan asap rokok sehabis dihisapnya dalam-dalam. “Hujan selalu membawa berkah,” batinnya.

Hampir satu jam hujan turun membasahi kota, namun belum juga menunjukkan tanda-tanda akan reda. Orang-orang makin menunjukkan raut wajah kecewanya. Kemacetan juga semakin menambah kekecewaan mereka. Apalagi jalan-jalan juga mulai tergenang. Membuat beberapa orang jadi berang karena telah membatalkan pertemuan yang seharusnya dapat menghasilkan uang.

***

DI samping halte, sepasang gelandangan berdiri menarik gerobaknya, menanti kendaraan sepi untuk menyeberangi jalan itu. Dari dalam gerobak, dua orang anak juga ikut berdiri tegak, memantau jalan raya untuk membantu orang tuanya menyeberang.

Setelah seharian mengumpulkan barang-barang bekas dari penjuru kota, di seberang jalan sana, di antara pohon-pohon akasia dan rerumputan hijau taman kota, bersama beberapa gelandangan lainnya keempat orang itu biasa menghabiskan waktu malam mereka. Hujan sore itu sudah pasti akan membuat malam mereka menjadi semakin dingin.

Padatnya kendaraan bermotor yang terjebak macet menyulitkan gelandangan itu untuk menyeberang jalan dengan gerobaknya, gerobak yang menjadi tempat tinggal mereka, tempat mereka menaruh mimpi dan harapan.

Hujan yang tercurah terus membasahi tubuh mereka yang tidak gemuk, tapi juga tidak terlalu kurus. Tak ada payung yang melindungi mereka dari guyuran hujan, juga tak ada topi di atas kepala.

***

DI belakang halte, di dalam gedung yang terdapat rumah ibadah, orang-orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda serta anak-anak mulai berduyun-duyun keluar. Ada yang berjalan kaki tapi lebih banyak yang keluar dengan mobil mewahnya.

Mereka yang berjalan kaki punya payung aneka warna untuk melindungi diri dari hujan, juga melindungi kitab suci dari air yang dapat merusak.

Sepasang muda-mudi di bawah satu payung bergandengan akrab dengan senyum yang muncul tak habis-habisnya. Tangannya tampak saling menggenggam, erat. Di tangannya yang lain, masing-masing tampak menggenggam kuat kitab suci dengan sampul warna coklat.

Anak-anak tampak riang dalam bimbingan orang tuanya, sambil bersiul-siul dan sedikit-sedikit menyanyikan lagu-lagu rohani yang memuji kebesaran dan kesucian Tuhan.

Dari dalam mobil, dari balik kaca yang tak lama dibuka, seorang anak tersenyum lebar dan melambaikan topinya sebagai salam kepada temannya yang berjalan kaki di bawah payung warna-warni.

Di dekat halte, di depan gelandangan yang menunggu kendaraan sepi, topi itu terjatuh. Tapi, tak ada yang turun mengambil. Barangkali takut sepatunya akan basah dalam genangan air.

Kaca mobil kembali ditutup rapat-rapat. Mobil berjalan perlahan-lahan menjaga jarak yang sangat rapat dengan mobil lain di depannya. Dari dalam mobil, tak ada satu pun yang memperhatikan topi yang terjatuh itu. Topi merah dengan bordiran huruf NY yang menyembul cukup rapih.

Di tengah kemacetan sore itu, beberapa sepeda motor memaksa maju melewati trotoar jalan. Sepasang gelandangan itu mengalah dan terpaksa mendorong kembali gerobaknya ke belakang. Topi merah yang belum lama terjatuh dilindas sepeda motor yang lewat. Topi itu benar-benar tak dipungut lagi oleh pemiliknya dan menjadi sampah kota.

Gelandangan itu memungut topi merah itu, tak ingin menyia-nyiakannya. Dibersihkannya bekas kotoran dari topi itu lalu diberikan kepada anaknya yang paling besar. Dengan senyum ala kadarnya sang anak langsung mengenakan topi merah itu.

***

Hari makin sore, Hari masih membuatkan dua gelas jahe hangat. Dagangannya yang tersisa tinggal tiga bungkus kopi instan. Tapi, airnya sudah tidak lagi hangat. Selesai membuatkan pesanan yang terakhir, Hari merapihkan dagangannya. “Siapa pula yang mau membeli kopi seduh dengan air yang tak lagi hangat?” pikirnya. Digerakkannya sepeda onthel ke sisi halte. Kini ia berada di samping gelandangan yang sudah basah kuyup diguyur hujan.

Lama juga ia menunggu kendaraan yang melintas sepi. Sore itu memang cukup padat. Sangat macet dan semrawut di bawah guyuran hujan di atas genangan air.

“Mau nyebrang juga Pak,” tanya Hari kepada gelandangan yang sedari tadi hanya berdiri dengan gerobaknya memandangi ramainya kendaraan yang saling berebut jalan.

“Iya,” jawab gelandangan itu dengan cukup singkat. Bibirnya sudah bergetar kedinginan. Dari suaranya Hari bisa melihat bahwa lawan bicaranya itu benar-benar kedinginan.

Di dalam gerobak, Istri dan dua anak gelandangan itu duduk termangu, diam memandangi jalan yang tak kunjung sepi. Anak yang bertopi merah itu terlihat sekali-sekali melepas topinya, diputar-putar dan dikibaskan untuk mengurangi air yang terserap oleh bahan topi yang kelihatan masih baru dan cukup mahal itu.

Berusaha tersenyum, gelandangan itu meminta Hari membuatkan satu gelas kopi hangat. Ia menyerahkan uang dua ribu rupiah kepada Hari. Tapi, Hari menolaknya.

“Anggap saja sedekah saya Pak,” kata Hari. Hari merasa telah mendapatkan untung banyak hari itu, dan layaklah dia untuk bersedekah. Membagi rejeki Tuhan dengan sesame di bawah rahmatNya yang bernama hujan.

Ia segera membuatkan tiga gelas kopi untuk gelandangan itu, dengan air yang sudah tidak lagi hangat.

Sepasang suami istri itu tersenyum menikmati kopi yang tak lagi hangat dari Hari. Kedua anak dalam gerobak itu juga turut menikmati kopi yang diberikan Hari. Melihat senyum dari keluarga yang kurang beruntung itu, Hari merasa berbahagia dapat menyenangkan mereka dengan sedekah kopinya.

Selesai menikmati kopi dan berbincang-bincang, mereka berusaha untuk sama-sama menyeberang. Kendaraan belum juga sepi, tapi mereka memaksa diri untuk menyeberang jalan dengan menghentikan beberapa kendaraan yang tentu saja berbuah umpatan.

Setelah berhasil menyeberang mereka berpisah jalan.

***
Siang hari itu terasa sangat gerah. Setelah berkeliling menjajakan dagangan ke penjuru kota, Hari kembali datang ke halte di jalan itu sambil berharap dagangannya akan laku keras seperti hari kemarin.

Di seberang jalan, terlihat orang-orang berkerumun. Dan setiap kali ada kerumunan orang, Hari selalu merasa penasaran, selalu ada rasa ingin tahu. Barangkali pula ada yang membeli segelas kopinya. Karena itu, sepeda onthel-nya pun kembali digowes menyeberangi jalan, mendatangi kerumunan.

Raut wajah Hari agak tersentak, kaget. Di tengah-tengah kerumunan itu terdapat empat orang gelandangan yang bersamanya kemarin, suami-istri dan dua orang anaknya terkulai lemas beralas kardus di samping gerobak yang kosong. Menurut beberapa orang gelandangan yang menemani keempat orang yang terkulai lemas itu, semalam keempat orang itu merasa mual dan muntah-muntah. Muntahan yang keluar hanyalah air kopi.

Kata beberapa orang yang ada di tempat itu, kemungkinan keempat orang itu mabuk kopi. Katanya, itu bisa terjadi karena lambung mereka tidak kuat menerima kopi setelah seharian tidak makan dan kedinginan. Apalagi kalau kopi yang diseduh tidak benar-benar matang, tidak dengan air yang benar-benar panas, bisa membuat perut kembung dan mual.

Hari tidak terlalu tahu soal itu. Ia hanya terdiam. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Langit juga kembali mendung seperti siang kemarin, angin juga mulai berhembus kencang. Barangkali hujan akan turun menemani mereka kembali seperti kemarin, dalam lapar, dalam dingin, di taman kota, di seberang halte jalan itu.

Kebagusan, November 2010 M
Dzulhijah 1431 H
(author: sacafirmansyah)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda