Kamis, 09 Desember 2010

Cerita Tentang Saiful di Senin Pagi

Pagi itu, di bundaran yang letaknya tak jauh dari rumah saya, suasananya terlihat agak sepi. Mungkin karena hari itu adalah hari Senin, dimana orang memulai aktifitasnya lagi setelah libur di hari sebelumnya. Hanya ada beberapa lansia yang berolahraga dan seorang perempuan sebaya saya yang terlihat semangat menyelesaikan putaran demi putaran. Hemm, sepertinya saya kalah start dengan dia. Oke, sebelum saya mulai berlari harus melakukan pemanasan terlebih dahulu agar kaki, tangan, dan tubuh saya tidak kaku.
10 menit berlalu.. dan sepertinya kaki saya sudah tidak sabar lagi untuk melangkah. Saya mengawalinya dengan berjalan. Sesampainya di ujung separuh perjalanan saya, saya melihat seorang anak laki-laki berumur sekitar 8 tahun-an duduk di bawah pohon dengan pandangan kosong. Saya mengira dia pasti baru bangun tidur. Terlihat dari matanya yang masih bau bantal. Lalu, di sampingnya dekat dia duduk banyak kertas-kertas berserakan dan ada sebuah becak tua yang penuh dengan tumpukan kardus bekas yang sudah terpaket rapi.
Saya melihatnya lagi, masih dengan posisi yang tidak berubah. Dia tidak sedang mengamati suasana sekitar. Dia hanya melihat ke arah depan. Entah kemana dia biarkan pikirannya berjalan. Mungkin dia masih ngantuk dan ingin melanjutkan tidurnya. Atau mungkin merasa lapar. Atau dia sedang tidak membayangkan apa-apa.
Baik, saya mengalihkan perhatian. Sekelompok wanita lansia terlihat semakin semangat dengan olah raganya. Mereka hanya berempat dan salah satu sebagai instruktur. Gerakan menepuk kepala, bahu, dan pinggul disertai suara “hah” seolah membuang nafas kuat-kuat nampaknya mengundang perhatian sekitar, termasuk saya. Dan saya pun berkata dalam hati, saya harus tetap semangat berolah raga sampai seusia mereka. Seperti apa yang saya dan Mas Firman pernah bicarakan juga bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dengan tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat, kita juga dapat secara maksimal membaktikan hidup kita pada mereka yang kita kasihi, kita sayangi..
Tak terasa saya sudah melakukan beberapa putaran dengan ritme berjalan dan berlari. Tapi saya masih penasaran dengan anak itu. Anak yang sekarang terlihat asik dengan sebuah mainan sejenis ketapel. Saya jadi ingat, itu mainan hadiah dari jajanan anak SD yang saya dulu juga sempat hobi mengumpulkannya. Dan ternyata jaman belum berubah bagi dia. Di saat anak-anak seusianya senang bermain play station, namun dia tampak cukup puas dan bahagia dengan mainannya itu.
Matahari mulai muncul dengan sinarnya yang cerah. Cukup cerah untuk pagi ini. Pohon dan rumput terlihat lebih hijau dari biasanya. Segar membasahi dengan embunnya. Sejuk pun terasa di udara. Hanya waktu, waktu yang membuat saya harus segera berganti ke aktifitas selanjutnya.
Akan tetapi, sebelum pulang saya sengaja duduk di tempat tak jauh dari anak itu bermain. Saya luruskan kaki seolah melakukan pendinginan agar dia tidak curiga mengapa saya berhenti di situ mendekatinya. Dan saya  menyapanya,
“Hei, nama kamu siapa?”
“Saiful,” jawabnya terdengar cukup tegas dan nampaknya dia anak yang pemberani dengan sorot mata yang tajam.
“Emm, semalem kamu tidur disini?”
“Enggak.”
“Dimana?”
“Di rumah.”
“Oh, rumah kamu dimana?”
“Di Setro,” kali ini jawabnya agak kurang jelas karena dia masih asik dengan mainan ketapelnya.
“Kamu gak sekolah hari ini?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Ya, gak sekolah aja,” jawabnya sambil menembakkan mainannya ke pohon, lalu ditangkapnya lagi tepat.
“Terus, sehari-hari ikut bapak bekerja?”
“Iya.”
“Gak pengen sekolah?”
“Enggak.”
 “Kenapa?”
“Gak apa-apa.”
Oke, obrolan saya dengan Saiful berhenti sampai disitu. Saya tidak ingin mengganggunya lebih lama lagi.
 --o0o--
Dalam perjalanan pulang, saya masih berusaha mencari arti jawaban-jawaban singkatnya. Mungkin Saiful sendiri tidak mengerti pasti mengapa dia tidak sekolah seperti anak-anak yang lainnya. Ah, seandainya saja Saiful masih punya jawaban, "Iya, saya ingin sekolah." Kemudian ia mengutarakan keinginan-keinginan dan cita-citanya, mungkin saja akan lebih menggugah saya untuk semakin bersemangat mewujudkan sekolah gratis bagi orang-orang seperti Saiful, yang barangkali karena keterbatasan ekonomi tidak dapat menikmati bangku sekolah. Karena saya hanya ingin melihat semangat dan harapan untuk hari esok yang cerah di mata anak-anak seperti kamu, Saiful. (author: dinda dinar gumilang)

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda