Sabtu, 04 Desember 2010

Menghadapi Ketakutan

Dinda selalu menegakkan pandangannya setiap kali saya menengok ke belakang, dalam pendakian ke Semeru, yang juga merupakan pendakian gunung pertamanya. Di sepanjang jalan menuju Kalimati, saya tidak mendengar satu pun keluhan dari dirinya soal rasa lelah dan juga rasa takut yang biasa menyelinap dalam hati seorang perempuan, barangkali juga dalam hati setiap laki-laki dan perempuan, di saat malam gelap datang di tengah-tengah hutan yang tinggi dan jauh dari keramaian. Hanya kami bertiga diselimuti hembusan angin yang dingin dan sepi.

SETIAP kali saya menengok ke belakang, saya selalu disuguhkan dengan senyumnya, yang barangkali pada beberapa jalan terjal mendaki terkesan dipaksakan agar dapat memberikan dorongan semangat kepada sahabat seperjalanannya. Di depannya, saya jadi tidak ingin membuatnya kecewa. Mungkin inilah satu-satunya ketakutan saya saat itu, tidak ingin membuat dia dan juga sahabatnya kecewa. Semangat saya yang hampir redup kembali terang dalam gelapnya malam karena percikan api semangatnya yang begitu besar.

Setelah hari itu, saya jadi mengaguminya, terlebih setelah berjalan bersama menuju Mahameru. Semangat untuk mencapai keinginannya cukup kuat. Ketika dia-barangkali-sudah lelah, dia berjalan di belakang, menunduk sejenak, namun tanpa keluh. Tidak rebah ke tanah, tidak pasrah menyerah. Saya kagum melihat gairah semangat seperti itu.

Saat saya katakan, “Barangkali kita tak akan sampai ke puncak”, dia juga enggan menyerah. Kami akhirnya sampai puncak, dengan menyadari segala resiko bahaya yang mungkin datang, karena saat itu sudah pukul 10 pagi, dan selalu kami dengar pada jam-jam itu racun yang menakutkan para pendaki bisa saja muncul. Tapi toh kami sampai ke puncak, pukul 10 pagi, di saat langit benar-benar cerah dan puncak-puncak gunung lainnya terlihat biru kehijau-hijauan seperti safir yang berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah.
***
Dinda, saat itu saya tidak mengerti dengan rasa takut yang akhirnya kamu akui juga saat kita sampai di rumahmu. Katamu, kamu takut dengan gelap, tapi kamu telah berjalan di dalam hutan yang gelap. Kamu benar-benar telah mengalahkan ketakutan-ketakutan kamu hingga saya tak melihatnya sedikitpun dari matamu saat itu, saat sesuatu yang sangat menakutkanmu ada di hadapanmu. Saya jadi mengerti kalau kamu takut juga mengecewakan teman seperjalananmu.

Saya pikir, begitulah memang. Bahwa ketakutan kita itu cuma bisa kita hadapi kalau kita ada pada apa yang kita takutkan. Kita telah bersama mendaki gunung itu. Kadang ketakutan kita itu menang. Tetapi, ketika kita bersama, kita berhasil menaklukkan ketakutan kita. Bukankah begitu?

Kamu sering juga akhirnya menceritakan soal ketakutan kamu pada sisi gelap di rumahmu. Saya rasa kalau kamu punya ketakutan, cuma dengan mendatangi ketakutan itu kamu bisa temukan jawabannya. Apakah kita masih perlu takut dengannya? Beberapa kali kamu sudah berhasil. Selamat ya..:-)

Begitulah ‘Nda, kita mesti menghadapi ketakutan kita itu, tak perlu menghindar dan menjauh. Karena, kelak mau tidak mau kita bisa jadi akan berhadapan dengan ketakutan yang kita miliki. Seseorang yang saya hormati sempat menasehati seorang teman, katanya, nanti kalau kamu bisa bertatap muka dengan ketakutanmu itu, kamu bisa lihat apa maunya hidup ini terhadap dirimu.

Kalau kata orang Jawa, manunggaling kawula ing Gusti, memahami mau Allah SWT supaya bisa hidup menjalankan rencana Allah, ya musti melampaui ketakutan itu sendiri. Karena ketakutan itu hanya milik Allah. Ah, kamu pasti lebih mengerti soal itu. Bagaimana? Masih perlukah kita takuti apa yang kita pikir menakutkan itu? (author: sacafirmansyah)

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda