Selasa, 28 Desember 2010

Karena Cinta Kita Bukan Cinta Angka Kemenangan

Alun-alun Sidoarjo tampak begitu indah sore itu. Orang-orang berlalu lalang dengan kegembiraan yang sama sekali lain. Pertandingan sepak bola antara Indonesia vs Malaysia tidak menarik perhatian mereka, hanya segelintir saja yang duduk memperhatikan kotak kecil bernama televisi di tengah lapangan yang di sisinya tukang obat alternatif berteriak-teriak mencari perhatian. Saya sempat berprasangka buruk tentang tukang obat itu, sama seperti saat saya berprasangka buruk mengenai para politisi dan berita sepak bola kita hari-hari terakhir ini.

Tapi, sudahlah. Saya dan kamu hanya melintas saja, berjalan-jalan menghabiskan waktu berdua, saling berbagi cerita, dan tentu saja berusaha mengerti apa itu cinta. Di alun-alun, langit yang gelap ditantang gemerlap lampu-lampu kecil aneka warna. (Sayang, di luar sana sudah terlalu banyak kebohongan, kepura-puraan, juga kekerasan...)

Lalu, angin berhembus pelan. Rintik air begitu halus turun membasahi jalan dan rerumputan. Para pengamen datang bergantian, anak-anak, kaum muda, orang-orang tua. Di depan mereka, para pejabat dan tamu undangan duduk penuh bangga. Dijaga petugas keamanan yang resah, mengapa tidak juga ada gol lalu semua tertawa dan bergembira bersama, pejabat dan tamu undangan, para pedagang, pengamen yang anak-anak, yang muda, yang orang tua. (Sayang, sebisa mungkin kita curahkan cinta dan sayang kita di lingkungan kecil kita, rumah kita. Cinta yang sepenuhnya untuk kita, untuk anak-anak kita, untuk keluarga kecil kita, kelak. Dan kita mesti mendidik diri kita, dalam hubungan kita saat ini, untuk dapat saling jujur, sederhana, dan tanpa kepura-puraan, tulus dalam cinta...)

Setelah tendangan bola yang mesti dibalas tendangan terarah, menuju gawang yang entah akan masuk atau tidak, aku yang tersenyum kau balas dengan senyuman, berusaha mengerti arti tujuan hidup bersama. Lalu, semua pulang, sayang.. Ah, apalah artinya angka 3-0 malam itu, karena kita hanya ingin mengerti cinta, belajar jujur, sederhana, dan tanpa kepura-puraan. Tak perlu kecewa, karena lampu-lampu aneka warna tetap bersinar indah di bawah langit gelap, anak-anak tetap bermain, bergembira dan tertawa.

Pukul sembilan, detik jarum jam terus berputar. Lalu, kita duduk berdua, di atas roda dua, di atas roda yang berputar. Kita tidak begitu kecewa, karena cinta kita bukan cinta angka kemenangan dalam pertandingan. Cinta kita adalah saling berbagi dan menerima dengan jujur, sederhana, dan tanpa kepura-puraan, dalam kalah, dalam menang, dalam susah, dalam gembira. Bukankah begitu, sayang? (author: sacafirmansyah)

Label: ,

Selasa, 21 Desember 2010

Langit Yang Mendung Itu Indah, Sayang..

***
to: utc_005..:-)
.
langit yang mendung itu indah, sayang..
dan kita akan menyaksikan kilatan cayaha terang diiringi suara lirih dari awan-awan yang mendesah saat bermesraan, sayang..
.
langit yang mendung itu indah, sayang..
dan jika awan-awan itu sampai pada puncak kemesraannya, kita akan rasakan pula bahagia mereka di atas sana, lewat basuhan air suci yang turun ke hamparan bumi, air yang menjadi ruh dari gerak kehidupan, itulah hujan, sayang..
.
langit yang mendung itu indah, sayang..
dan hujan akan terlahir dari luapan cinta awan-awan mendung yang saling bermesraan, karena itulah orang-orang sering mengatakan hujan itu rahmat, hujan itu berkah, yang terlahir dari cinta ilahi yang begitu sederhana, sayang..
.
langit yang mendung itu indah, sayang..
dan maukah kau berbagi cerita, berbagi cinta, di bawah langit yang mendung, di bawah awan yang bermesraan, untuk kemudian diguyur hujan, diguyur luapan cinta dari kemesraan awan-awan, sayang..
.
langit yang mendung itu indah, sayang..
dan maukah kau bersama denganku dibawahnya, sambil mewujudkan mimpi-mimpiku, juga mimpi-mimpimu, tak peduli kemungkinan dingin, tak peduli kemungkinan basah, sebab kita yakin akan ada cerah yang lebih indah, sayang..
:
-karena mendung memang indah, sayang..-
menteng, 21.12.2010
(author: sacafirmansyah)

Label: ,

Kamis, 09 Desember 2010

Cerita Tentang Saiful di Senin Pagi

Pagi itu, di bundaran yang letaknya tak jauh dari rumah saya, suasananya terlihat agak sepi. Mungkin karena hari itu adalah hari Senin, dimana orang memulai aktifitasnya lagi setelah libur di hari sebelumnya. Hanya ada beberapa lansia yang berolahraga dan seorang perempuan sebaya saya yang terlihat semangat menyelesaikan putaran demi putaran. Hemm, sepertinya saya kalah start dengan dia. Oke, sebelum saya mulai berlari harus melakukan pemanasan terlebih dahulu agar kaki, tangan, dan tubuh saya tidak kaku.
10 menit berlalu.. dan sepertinya kaki saya sudah tidak sabar lagi untuk melangkah. Saya mengawalinya dengan berjalan. Sesampainya di ujung separuh perjalanan saya, saya melihat seorang anak laki-laki berumur sekitar 8 tahun-an duduk di bawah pohon dengan pandangan kosong. Saya mengira dia pasti baru bangun tidur. Terlihat dari matanya yang masih bau bantal. Lalu, di sampingnya dekat dia duduk banyak kertas-kertas berserakan dan ada sebuah becak tua yang penuh dengan tumpukan kardus bekas yang sudah terpaket rapi.
Saya melihatnya lagi, masih dengan posisi yang tidak berubah. Dia tidak sedang mengamati suasana sekitar. Dia hanya melihat ke arah depan. Entah kemana dia biarkan pikirannya berjalan. Mungkin dia masih ngantuk dan ingin melanjutkan tidurnya. Atau mungkin merasa lapar. Atau dia sedang tidak membayangkan apa-apa.
Baik, saya mengalihkan perhatian. Sekelompok wanita lansia terlihat semakin semangat dengan olah raganya. Mereka hanya berempat dan salah satu sebagai instruktur. Gerakan menepuk kepala, bahu, dan pinggul disertai suara “hah” seolah membuang nafas kuat-kuat nampaknya mengundang perhatian sekitar, termasuk saya. Dan saya pun berkata dalam hati, saya harus tetap semangat berolah raga sampai seusia mereka. Seperti apa yang saya dan Mas Firman pernah bicarakan juga bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dengan tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat, kita juga dapat secara maksimal membaktikan hidup kita pada mereka yang kita kasihi, kita sayangi..
Tak terasa saya sudah melakukan beberapa putaran dengan ritme berjalan dan berlari. Tapi saya masih penasaran dengan anak itu. Anak yang sekarang terlihat asik dengan sebuah mainan sejenis ketapel. Saya jadi ingat, itu mainan hadiah dari jajanan anak SD yang saya dulu juga sempat hobi mengumpulkannya. Dan ternyata jaman belum berubah bagi dia. Di saat anak-anak seusianya senang bermain play station, namun dia tampak cukup puas dan bahagia dengan mainannya itu.
Matahari mulai muncul dengan sinarnya yang cerah. Cukup cerah untuk pagi ini. Pohon dan rumput terlihat lebih hijau dari biasanya. Segar membasahi dengan embunnya. Sejuk pun terasa di udara. Hanya waktu, waktu yang membuat saya harus segera berganti ke aktifitas selanjutnya.
Akan tetapi, sebelum pulang saya sengaja duduk di tempat tak jauh dari anak itu bermain. Saya luruskan kaki seolah melakukan pendinginan agar dia tidak curiga mengapa saya berhenti di situ mendekatinya. Dan saya  menyapanya,
“Hei, nama kamu siapa?”
“Saiful,” jawabnya terdengar cukup tegas dan nampaknya dia anak yang pemberani dengan sorot mata yang tajam.
“Emm, semalem kamu tidur disini?”
“Enggak.”
“Dimana?”
“Di rumah.”
“Oh, rumah kamu dimana?”
“Di Setro,” kali ini jawabnya agak kurang jelas karena dia masih asik dengan mainan ketapelnya.
“Kamu gak sekolah hari ini?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Ya, gak sekolah aja,” jawabnya sambil menembakkan mainannya ke pohon, lalu ditangkapnya lagi tepat.
“Terus, sehari-hari ikut bapak bekerja?”
“Iya.”
“Gak pengen sekolah?”
“Enggak.”
 “Kenapa?”
“Gak apa-apa.”
Oke, obrolan saya dengan Saiful berhenti sampai disitu. Saya tidak ingin mengganggunya lebih lama lagi.
 --o0o--
Dalam perjalanan pulang, saya masih berusaha mencari arti jawaban-jawaban singkatnya. Mungkin Saiful sendiri tidak mengerti pasti mengapa dia tidak sekolah seperti anak-anak yang lainnya. Ah, seandainya saja Saiful masih punya jawaban, "Iya, saya ingin sekolah." Kemudian ia mengutarakan keinginan-keinginan dan cita-citanya, mungkin saja akan lebih menggugah saya untuk semakin bersemangat mewujudkan sekolah gratis bagi orang-orang seperti Saiful, yang barangkali karena keterbatasan ekonomi tidak dapat menikmati bangku sekolah. Karena saya hanya ingin melihat semangat dan harapan untuk hari esok yang cerah di mata anak-anak seperti kamu, Saiful. (author: dinda dinar gumilang)

Label: ,

Sabtu, 04 Desember 2010

Hari Gini Masih Ke Perpustakaan?..

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan ditorehkan pada dokumen dengan berbagai media—dahulu tinta pada papirus, sekarang byte computer pada cakram disk. Namun, ada satu yang masih bertahan: buku. Kenapa buku? Buku menawarkan nostalgia kenyamanan yang tak tertandingi media lain. Buku membangkitkan nuansa kreativitas. Buku menawarkan cita-cita. Buku merupakan penyampai lidah pengarang yang rindu pada pembacanya.
(Komunitas Pencinta Perpustakaan)

***

***

Saya agak tergelitik juga dengan iklan Nokia Ovi Life Tools. Sebagai seorang pemerhati dunia perpustakaan, dan juga telah mengenyam pendidikan perpustakaan selama lebih kurang enam tahun, tentu saja iklan semacam itu sangat menggelitik saya.

Walaupun barangkali tidak bermaksud mengkerdilkan peran perpustakaan konvensional dalam mengembangkan pengetahuan remaja, tapi iklan itu seakan-akan 'menyentil' pustakawan yang masih saja diidentikkan hanya sebagai penjaga perpustakaan dan pengatur buku di rak-rak buku.

Sementara perkembangan teknologi kian pesat (perpustakaan--pengetahuan--dapat berada di dalam genggaman anda!), pustakawan masih saja sibuk di dalam ruang perpustakaan dengan buku-buku terserak dan peraturan yang kaku.

Saat berdiskusi dengan seorang teman, Citra Octaviana, dan juga dosen saya, Utami Hariyadi beberapa hari lalu, saya sampaikan sedikit kegelisahan saya mengenai imej perpustakaan dalam iklan tersebut.

Dengan Citra, saya lebih banyak membahas soal teori-teori komunikasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, social media, Gen Y, globalisasi dan gurita kapitalisme yang juga mencengkeram dunia pendidikan, dan bagaimana kira-kira rencana pengembangan dunia perpustakaan di tengah-tengah itu semua.

Sedangkan bersama Utami, kami bertiga berbagi cerita tentang peran pustakawan yang sangat kurang dalam mengembangkan dunia perpustakaan. Utami bercerita bahwa ada rekannya, yang dosen Fakultas Teknik UI, justru lebih perhatian dalam mengembangkan perpustakaan, khususnya perpustakaan sekolah.

Utami menuturkan, sebenarnya sederhana saja yang dilakukan temannya itu, yaitu bagaimana merancang perpustakaan sekolah agar secara arsitektur, baik interior maupun eksterior menjadi menarik untuk dikunjungi. Itu semua dilakukannya secara cuma-cuma sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat.

Utami, yang Ketua Vokasi Ilmu Perpustakaan UI merasa sangat tergelitik juga dengan apa yang telah dilakukan oleh temannya itu. Karena, menurutnya, sebagai pustakawan justru belum banyak yang ia lakukan bagi perkembangan dunia perpustakaan.

Dalam diskusi yang berlangsung singkat di salah satu resto di bilangan Kober, Margonda Raya Depok, singkat cerita akhirnya kami sama-sama punya tekad untuk mengembangkan keilmuan yang kami geluti dengan berbagai cara kami masing-masing.

Karena mereka berdua belum pernah menyaksikan iklan yang menjadi pemicu diskusi itu, saya pun berjanji akan memperlihatkannya nanti, tak lama setelah pertemuan itu.

Seiring waktu berganti, Rabu itu saya kepikiran juga untuk melihat respon rekan-rekan seangkatan saya di Program Studi Ilmu Perpustakaan. Bagaimana pikiran-pikiran mereka dan masihkah ada antusiasme yang tinggi dari mereka terhadap dunia perpustakaan.

Saya mencoba 'menggelitik' mereka dengan iklan Nokia itu melalui milis, tentu ditambah dengan kata pengantar saya yang provokatif. Tapi, sayang hanya beberapa saja yang antusias. Itupun pikiran-pikiran yang dikemukakan pada awalnya lebih cenderung self-defense dengan tanpa solusi dan ide-ide kreatif untuk pengembangan perpustakaan selanjutnya.

Namun demikian, dari diskusi itu kami, saya dan Citra, setidaknya dapat membuat mereka lebih aware dengan dunia perpustakaan dan perkembangan lingkungan di sekitarnya. Di samping itu juga memperkaya wacana saya tentang pustakawan dan isu plagiarisme yang disampaikan Grace Wiradi. Berikut adalah petikan lengkapnya.
Baca selengkapnya »

Label:

Menghadapi Ketakutan

Dinda selalu menegakkan pandangannya setiap kali saya menengok ke belakang, dalam pendakian ke Semeru, yang juga merupakan pendakian gunung pertamanya. Di sepanjang jalan menuju Kalimati, saya tidak mendengar satu pun keluhan dari dirinya soal rasa lelah dan juga rasa takut yang biasa menyelinap dalam hati seorang perempuan, barangkali juga dalam hati setiap laki-laki dan perempuan, di saat malam gelap datang di tengah-tengah hutan yang tinggi dan jauh dari keramaian. Hanya kami bertiga diselimuti hembusan angin yang dingin dan sepi.

SETIAP kali saya menengok ke belakang, saya selalu disuguhkan dengan senyumnya, yang barangkali pada beberapa jalan terjal mendaki terkesan dipaksakan agar dapat memberikan dorongan semangat kepada sahabat seperjalanannya. Di depannya, saya jadi tidak ingin membuatnya kecewa. Mungkin inilah satu-satunya ketakutan saya saat itu, tidak ingin membuat dia dan juga sahabatnya kecewa. Semangat saya yang hampir redup kembali terang dalam gelapnya malam karena percikan api semangatnya yang begitu besar.

Setelah hari itu, saya jadi mengaguminya, terlebih setelah berjalan bersama menuju Mahameru. Semangat untuk mencapai keinginannya cukup kuat. Ketika dia-barangkali-sudah lelah, dia berjalan di belakang, menunduk sejenak, namun tanpa keluh. Tidak rebah ke tanah, tidak pasrah menyerah. Saya kagum melihat gairah semangat seperti itu.

Saat saya katakan, “Barangkali kita tak akan sampai ke puncak”, dia juga enggan menyerah. Kami akhirnya sampai puncak, dengan menyadari segala resiko bahaya yang mungkin datang, karena saat itu sudah pukul 10 pagi, dan selalu kami dengar pada jam-jam itu racun yang menakutkan para pendaki bisa saja muncul. Tapi toh kami sampai ke puncak, pukul 10 pagi, di saat langit benar-benar cerah dan puncak-puncak gunung lainnya terlihat biru kehijau-hijauan seperti safir yang berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah.
***
Dinda, saat itu saya tidak mengerti dengan rasa takut yang akhirnya kamu akui juga saat kita sampai di rumahmu. Katamu, kamu takut dengan gelap, tapi kamu telah berjalan di dalam hutan yang gelap. Kamu benar-benar telah mengalahkan ketakutan-ketakutan kamu hingga saya tak melihatnya sedikitpun dari matamu saat itu, saat sesuatu yang sangat menakutkanmu ada di hadapanmu. Saya jadi mengerti kalau kamu takut juga mengecewakan teman seperjalananmu.

Saya pikir, begitulah memang. Bahwa ketakutan kita itu cuma bisa kita hadapi kalau kita ada pada apa yang kita takutkan. Kita telah bersama mendaki gunung itu. Kadang ketakutan kita itu menang. Tetapi, ketika kita bersama, kita berhasil menaklukkan ketakutan kita. Bukankah begitu?

Kamu sering juga akhirnya menceritakan soal ketakutan kamu pada sisi gelap di rumahmu. Saya rasa kalau kamu punya ketakutan, cuma dengan mendatangi ketakutan itu kamu bisa temukan jawabannya. Apakah kita masih perlu takut dengannya? Beberapa kali kamu sudah berhasil. Selamat ya..:-)

Begitulah ‘Nda, kita mesti menghadapi ketakutan kita itu, tak perlu menghindar dan menjauh. Karena, kelak mau tidak mau kita bisa jadi akan berhadapan dengan ketakutan yang kita miliki. Seseorang yang saya hormati sempat menasehati seorang teman, katanya, nanti kalau kamu bisa bertatap muka dengan ketakutanmu itu, kamu bisa lihat apa maunya hidup ini terhadap dirimu.

Kalau kata orang Jawa, manunggaling kawula ing Gusti, memahami mau Allah SWT supaya bisa hidup menjalankan rencana Allah, ya musti melampaui ketakutan itu sendiri. Karena ketakutan itu hanya milik Allah. Ah, kamu pasti lebih mengerti soal itu. Bagaimana? Masih perlukah kita takuti apa yang kita pikir menakutkan itu? (author: sacafirmansyah)

Label: , ,