Rabu, 29 September 2010

Menuju Semeru (4), Yang Terabadikan Dari Atas Truk Pupuk Menuju Ranu Pani

(Duduk di atas truk, menikmati dinginnya udara pagi antara Tumpang-Ranu Pani)
Pagi hari yang indah, 28 September 2010
Truk yang kami tumpangi untuk menuju Ranu Pani mulai bergerak maju. Saya tak menggunakan jaket pagi itu. Saya membiarkan angin pagi menusuk-nusuk kulit saya. Saya rindu dengan dingin seperti ini setelah kegerahan di Surabaya hingga Malang siang kemarin.
Jarum jam tanganku pagi itu belum menunjuk ke angka enam. Masih bergerak ke bawah di antara angka lima menuju ke angka enam. Di atas, di sebelah timur, di depan mata kami cahaya putih bulat begitu menyilaukan mata. Di atas sisi yang lainnya, ada langit yang begitu biru.
Betapa senangnya saat melihat langit yang biru. Ah, hati siapa yang tak akan tenang melihat birunya langit jika mimpi-mimpi belum terwujud? Setiap kali melihat langit yang biru, setiap kali itu pula saya menyadari bahwa pandang mata kita terbatas menatap ke depan, dan dari situ pulalah saya menyadari bahwa segala sesuatunya ternyata juga serba terbatas. Saat menyadari itu, saya dapat beristirahat dengan tenang. Sejenak melupakan mimpi-mimpi yang belum terwujud karena segala keterbatasan yang ada saat ini.
Tapi, apakah manusia dapat cukup puas hidup dengan keterbatasan? Jika langit kembali berawan, saya juga kembali berpikir tidak karuan. Makhluk yang terbatas ini ternyata sangat merindukan yang tak terbatas, ada keinginan kuat untuk berontak pada keterbatasan-keterbatasan. Bukankah memang demikian fitrah manusia itu? Lihat saja, di dalam gelap yang membatasi pandang mata, dibuatlah lentera sehingga mata dapat melihat kembali apa-apa yang tak terlihat. Dari situlah saya kembali mengingat tentang mimpi-mimpi saya. Mimpi-mimpi yang mesti terwujud, mesti diwujudkan.
***
Tidak berapa lama dari rumah Pak Laman, kami memasuki Desa Gubug Klakah. Beberapa orang penduduk turut serta menumpang truk untuk menuju ke ladangnya. Di sisi jalan Desa Gubug Klakah, memang terdapat banyak ladang hijau yang tersusun rapi, seperti kain bermotif garis-garis hijau. Ladang-ladang hijau yang tertata rapi itu menyiratkan banyak harapan akan hari esok yang penuh dengan kegembiraan.
Saya membayangkan ketika panen tiba beberapa kebutuhan hidup petani yang tertunda selama ini dapat terpenuhi. Terbayang senyum gembira di semua tempat, di ladang, di rumah, di tempat-tempat ibadah. Semua penuh dengan senyuman. Tapi, saya baca sekilas koran lokal Jawa Timur kemarin, harga panen kubis jatuh. Ah, apakah petani-petani itu masih dapat tersenyum lebar atas hasil jerih usahanya selama ini?
(Pengalaman pertama Dinda dan Alfi duduk di atas truk, di atas tumpukan pupuk dengan latar pemandangan alam TNBTS)
Bergerak ke atas lagi, kami saksikan lembah-lembah dalam yang hijaunya begitu hijau. Terkadang mendekati hitam. Dinda ternyata takut melihat ke bawah, takut dengan ketinggian. Apalagi melihat lembah-lembah dalam dari atas truk yang pertama kali dilakukannya.
Di titik terendah mata memandang, terlihat aliran sungai seperti garis putih kecil berkelok-kelok. Burung-burung yang berkicau di pagi hari itu memanggil kami untuk melihat ke sisi selatan. Di hari yang cerah itu, dari desa ini Puncak Mahameru dapat terlihat dengan jelas. Kami memandangi cukup lama juga. Sambil membayangkan perjalanan mendaki untuk menggapainya nanti.
(Puncak Mahameru dilihat dari Desa Gubuk Klakah)
Saat memasuki jalan yang sudah mulai rusak di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, setelah melewati persimpangan jalan dengan jalur Tracking Gubug Klakah PPM UGM, truk yang kami tumpangi beberapa kali berhenti karena mengalami slip. Untungnya Pak Lomo, sang kenek truk, dengan dibantu oleh kenek truk lainnya yang mengantri di belakang bisa mengatasinya dengan baik. Sempat ada keinginan untuk turun membantu. Tapi, Pak Lomo mengatakan kami tidak perlu turun untuk membantu.
Selain di tempat itu, tak ada lagi kendala yang dihadapi. Truk bergerak maju mendaki meskipun melaju dengan lamban. Tapi, karena tidak terlalu cepat kami dapat menikmati pemandangan-pemandangan di jalan-jalan yang dilalui. Saya sempat mengabadikan keindahan alam di jalur menuju Bromo. Bagi banyak pendaki yang akan ke Semeru, jika tak sempat mampir ke Bromo biasanya tak lupa mereka mengabadikan tempat ini dengan kamera yang mereka bawa.
(Pemandangan di sepanjang jalur Gubuk Klakah-Ranu Pani, gambar diambil dari atas truk yang berjalan ajrut-ajrutan)
Setelah sekitar dua jam di atas truk, kami sampai juga ke pemukiman penduduk Desa Ranu Pani. Di sini kami sempat berhenti sesaat. Dinda sempat mampir ke rumah penduduk untuk buang ’hajat’ yang belum sempat dilakukannya Shubuh tadi di tempat Pak Laman.
Saat berhenti di pemukiman itu, saya sedikit-sedikit bertanya juga tentang kehidupan masyarakat di sana kepada Pak Slamet. Soal transportasi misalnya. Penduduk sangat mengandalkan truk dan motor. Untuk kegiatan sehari-hari, mayoritas mereka menggunakan sepeda motor. Karena itu, beberapa hari sekali biasanya Pak Slamet diminta penduduk untuk membelikannya bensin untuk kebutuhan masyarakat di sana. Alasan kami berhenti saat itu juga untuk menyerahkan bensin kepada salah satu pedagang bensin eceran di sana.
(Sepeda motor dan truk, transportasi sehari-hari penduduk Ranu Pani)
Tak jauh dari tempat saya berhenti, ternyata ada seorang penduduk yang sedang mengisi air bersih. Kamera saya arahkan ke tempat itu. Di Ranu Pani, yang berada di ketinggian dua ribu meter di atas permukaan laut dengan kontur yang beragam memang di beberapa tempat tak ada sumber air. Karena itu mereka perlu mengambil air di tempat yang airnya melimpah untuk kebutuhan sehari-hari. Terutama kebutuhan air bersih untuk konsumsi.
(Seorang penduduk sedang mengisi dirigen kosong di salah satu sumber air bersih di Ranu Pani)
Di pagi hari itu, para petani mulai bergerak ke ladangnya masing-masing. Anak-anak juga turut serta membantu. Yang laki-laki memanggul cangkul untuk mengolah tanah-tanah mereka. Yang perempuan membawa bekal untuk keperluan di ladang yang memang jauh dari rumah. Saya terpesona melihat gairah hidup, semangat hidup semacam ini. Betapa hidupnya hidup yang sederhana ini.
(Keseharian anak-anak Ranu Pani, membantu orang tua di ladang)
Pukul delapan pagi, kami sudah sampai di pos perijinan pendakian, Pos Ranu Pani. Di sini kami dapat melihat danau yang indah, Ranu Pani. Tapi, kami hanya menikmatinya saja dari pos perijinan. Tanpa mengambil gambar sama sekali. Saya takut baterai kamera saya habis karena belum sempat di charger sejak dari Jakarta beberapa hari lalu. Saya akan menggunakannya di beberapa tempat saja saat pendakian dimulai nanti.
Pukul delapan pagi itu juga kami segera mengurus perijinan. Saya menyerahkan semua persyaratan yang diminta, yaitu fotocopy surat keterangan sehat, KTP, dan selembar materai 6000. Tidak terlalu sulit untuk mengurus perijinan di sana. Semua berjalan lancar saja.
Di sekitar pos perijinan banyak pendaki yang beristirahat setelah selesai melakukan pendakian ke Semeru. Saya sempat berbincang-bincang. Ternyata banyak kawan dari Jakarta. Saya bertanya juga tentang kondisi cuaca terakhir dan kondisi jalan yang baru dilalui para pendaki itu. Di samping itu juga bertanya apakah ada tim pendaki lain di atas.
Dari perbincangan itu, pendaki yang mungkin masih ada hanya dua kelompok kecil saja. Kata seorang pendaki, di sana saat itu sudah sangat sepi. Hampir semua sudah turun. Jadilah hanya kami bertiga yang melakukan pendakian saat itu. Tapi saya justru senang juga. Menikmati alam Semeru, dengan hanya kami bertiga manusianya. Hanya kami bertiga yang akan mengusik sunyinya keindahan alam para dewa.
Selesai mengurus perijinan, saya berganti pakaian dengan pakaian jalan yang sudah saya siapkan. Kaos biru, celana pendek biru tua, dan sepatu trekking. Selesai berganti pakaian, kami bertiga mencari sarapan. Pilihan kami saat itu adalah membeli sarapan di sebuah warung yang terbuat dari rangkaian bambu dan kain terpal sederhana di pinggir danau Ranu Pani, dekat Pos Tim SAR Semeru.
Nikmat sekali sarapan saya pagi itu. Walaupun hanya dengan nasi putih ditambah kecap dan bakwan goreng. Mungkin karena makanan itu masih hangat dan perut sudah dingin keroncongan, lapar. Atau mungkin juga karena keramahan ibu-ibu penjualnya. Tapi, Alfi yang duduk di samping saya sepertinya sedang tidak nafsu makan pagi itu, mungkin karena menu yang dipilihnya berbeda, Bakso. Saya lihat sarapannya tidak habis. Dalam hati saya, sangat disayangkan menyia-nyiakan makanan di saat akan memulai hari.
Usai sarapan, kami istirahat lagi sejenak. Menikmati manisnya gula dalam teh hangat di gubuk yang sederhana. Pukul sembilan lebih tiga puluh menit saya mulai mengenakan carrier saya. Dinda dan Alfi juga sudah siap dengan daypack mereka di punggung. Cuaca pagi itu benar-benar cerah. Kami memulai pendakian di saat alam begitu indah menampakkan dirinya. We come, Mahameru! (author: saca firmansyah)

Label: ,

Menuju Semeru (3), Bermalam di Rumah Pak Laman

Sore hingga malam hari, 27 September 2010.

Tak mendapatkan jeep sore itu, kami langsung memilih opsi untuk menggunakan truk yang akan mengantarkan sayuran ke Ranu Pani pada esok pagi. Dengan bantuan kawan-kawan yang mangkal di Pos Tumpang, akhirnya kami terhubungkan dengan Pak Laman, salah seorang pemilik truk yang akan menuju Ranu Pani esok pagi.

Sekitar pukul tiga sore Pak Laman datang dengan truknya menjemput kami di Pos Tumpang. Dari pos itu kami langsung diboyong Pak Laman menuju rumahnya. Tak sampai lima belas menit dengan menggunakan truk, kami sampai di rumah Pak Laman. Di halaman rumah Pak Laman terdapat juga satu truk dan satu jeep terbuka berwarna coklat.

Di samping jeep, di halaman rumah Pak Laman juga terlihat anak-anak yang sedang bermain. Beberapa diantaranya adalah anak Pak Laman. Salah satu nama yang masih saya ingat adalah Abi, anak laki-laki yang paling kecil.

Memasuki rumah, kami langsung disuguhkan dengan teh manis hangat oleh istri Pak Laman. Pak Laman sendiri langsung pergi lagi. Kata sang istri akan ke Surabaya, mengurus mobil lainnya.

Dengan keluarga Pak Laman tak banyak yang kami bicarakan. Hanya sekenanya saja, tanya jawab singkat. Tapi dengan anak-anaknya, kami mencoba mengabadikan gambar mereka. Berfoto bersama. Hal ini saya lakukan untuk mencairkan suasana saja. Lagipula, saya lihat mereka memang senang difoto. Terbukti dengan foto-foto yang digantung di dinding kamar dan ruang tamu. Dengan Dinda dan Alfi, saya katakan bahwa foto ini akan dicetak dan dikirim ke tempat ini sebagai kenangan untuk mereka dari kami. Untuk itu, kami mencatat alamat rumah tempat kami akan bermalam itu.

(Berfoto bersama anak-anak Pak Laman)
Usai berfoto, waktu maghrib tiba. Saya pamit untuk shalat di masjid yang belum jadi di pertigaan jalan. Shalat di masjid itu sangat singkat sekali. Sang Imam membaca dengan bacaan surat-surat pendek dan dengan cepat pula. Bacaan-bacaan shalat lainnya juga sangat singkat sekali. Saya merasa shalat maghrib saat itu seperti senam sore saja. Gerakan-gerakannya begitu singkat dan cepat.

Selesai shalat, saya kembali ke rumah Pak Laman. Sepanjang jalan kembali, sebagian anak-anak muda ada yang berpakaian ala santri menuju mushola lainnya. Tapi, di mulut-mulut gang sebagian anak-anak muda lainnya berkumpul membentuk tongkrongan lain dan mengabaikan waktu shalat. Namun demikian, kedua ’kelompok’ pemuda itu tetap saling menyapa seadanya. Dari sapa menyapanya, mereka memang saling mengenal.
***
Sore itu hujan turun sedikit, gerimis. Tapi tak berlangsung lama, hanya dalam hitungan menit saja dan cuaca kembali cerah. Di langit juga mulai terlihat bulan yang tak lagi bulat sempurna. Di dalam rumah, saya, Dinda dan Alfi sedikit-sedikit berbicara mengenai pengalaman masing-masing. Sedikit-sedikit sempat nyerempet juga ke masalah agama. Soal kecenderungan beberapa hukum fiqih yang dipilih. Dan kecenderungan terhadap salah satu ormas Islam, Muhammadiyah. Dinda dan Alfi juga merupakan didikan Muhammadiyah. Untuk Alfi, setidaknya ia dididik di Universitas Muhammadiyah.

Tak lama berbincang-bincang, istri Pak Laman menawarkan kami makan. Menurut Dinda istri Pak Laman sudah memasak untuk kami. Tapi saya tak enak hati untuk memakannya. Hal ini lebih dikarenakan kami mesti makan bertiga saja tanpa ditemani Pak Laman yang sedang ke Surabaya dan istri Pak Laman yang mesti menemani anak-anaknya tidur.

Alih-alih makan malam, kami malah berbincang-bincang lagi. Mengenai kekhawatiran cuaca yang buruk, kepada Dinda dan Alfi saya katakan bahwa cuacanya akan baik-baik saja pada pendakian nanti. Saya sempat berseloroh, Surabaya sudah menyambut saya dengan cuacanya yang baik, cuaca yang cerah walaupun agak gerah. Padahal, menurut Dinda sebelum saya datang cuacanya tak menentu, hujan deras dan berganti panas.

Kini giliran Malang, Bromo-Tengger-Semeru yang akan menyambut saya dengan cuacanya yang cerah dan indah. Bukannya sombong, tapi memang terbukti juga akhirnya. Malang menyambut saya dengan cuacanya yang cerah. Mengenai hal ini, saya sangat percaya bahwa orang tua saya pasti selalu berdoa di shalat-shalat malamnya untuk keselamatan dan kebahagiaan saya walaupun terkesan ada pembiaran terhadap semua yang saya lakukan. Makanya, kemanapun saya pergi sesungguhnya do’a orang tua selalu menyertai perjalanan saya.

Pukul delapan malam, Alfi tertidur di kursi di ruang tamu. Saya dan Dinda yang belum bisa tidur, mencoba keluar untuk mencari suasana segar, sekalian melihat suasana di sekitar rumah Pak Laman. Entah mengapa, sepertinya di antara kami ada ketertarikan satu sama lainnya. Tapi entah, ketertarikan terhadap apa. Yang jelas, seringkali kami saling bertatap mata sejak pertama kali bertemu. Kadang dalam waktu yang agak lama, sampai akhirnya muncul senyum darinya yang harus membuat saya mengalihkan pandang. Takut-takut kalau nanti benar-benar jatuh hati. Saya masih belum mau terlalu jatuh hati. Saya, mengutip lirik BIP (Sampai Nanti), ”masih banyak mimpi dan keinginan yang belum tercapai.” Saya hanya ingin menjadi sahabat, menjadi teman jalan yang baik. Saat itu untuk mereka berdua. Untuk sementara ini dicukupkan pada hubungan seperti itu saja.

Di sepanjang jalan di lingkungan sekitar rumah Pak Laman ternyata sangat sepi. Hanya ada beberapa kelompok pemuda yang berkumpul-kumpul. Itu pun dengan jumlah yang tak cukup banyak. Karena itu kami memutuskan kembali. Tapi, saya lihat ada Mie Ayam. Kami mampir di sana dan memesan dua mangkuk. Kelihatannya enak. Tapi kata Dinda mienya tidak terlalu enak, tidak matang merebusnya. Saya juga merasakan begitu, tapi santap sajalah. Walaupun agak eneg sedikit karena mienya cepat sekali dingin dan rasanya keras.

Awalnya kami ingin memesan satu lagi, dibungkus untuk Alfi. Tapi karena rasanya menurut Dinda kurang begitu enak. Niat itu diurungkan. Sambil berbincang-bincang, mie yang katanya tidak enak itu habis juga kami santap. Untuk dua mangkuk mie ayam, hanya dikenakan enam ribu rupiah saja. Dalam hati saya, murah banget, pantas rasanya tidak enak. Ah, tapi biar rasanya tidak enak tetap habis juga saya santap.

Sampai di rumah Pak Laman ternyata Alfi sedang terjaga dan tidak tidur. Tidak enak juga meninggalkannya sendirian. Ya, kami bercerita apa adanya saja apa yang dilakukan tadi. Dari hal itu kemudian berlanjut pada perbincangan yang lain. Kira-kira sampai setengah sebelas malam perbincangan belangsung. Dan setelah itu kami baru tertidur. Benar-benar tertidur pulas.

Pukul 3 dinihari, 28 September 2010

Alarm berbunyi dengan nada yang begitu asing bagi saya. Mungkin dari HP Dinda atau Alfi. Tapi saya tetap melanjutkan tidur saya hingga adzan shubuh terdengar di telinga. Saat saya bangun, ternyata Pak Laman sudah ada di rumah. Sudah bangun bersama istrinya yang mulai membereskan rumah.

Setelah duduk sebentar, saya langsung ke kamar mandi. Berwudhu dan langsung shalat shubuh. Usai shalat shubuh, sekitar pukul lima kurang tiga puluh menit kami membereskan barang-barang bawaan kami. Pak Laman mengatakan bahwa yang akan mengantarkan kami adalah adiknya, tepatnya adik iparnya, Pak Slamet.

Tak lama setelah Pak Laman mengatakan itu, Pak Slamet datang dan langsung memanaskan mesin truk. Istri Pak Laman juga menyediakan teh manis hangat untuk kami bertiga. Setelah menyeruput habis teh manis, saya keluar untuk melihat truknya. Di dalam truk ternyata sudah bertumpuk karung-karung berisi pupuk dan bensin.

Tepat pukul lima, setelah Pak Lomo yang akan menemani Pak Slamet datang, truk mulai sedikit-sedikit dijalankan. Kami segera menaikkan barang-barang kami di atas tumpukan karung-karung itu.

(Alfi menaikkan barang bawaannya ke atas truk dengan dibantu Pak Lomo)
Selesai barang-barang diangkut, kami berpamitan dengan Pak Laman dan istrinya. Sayang, anak-anaknya masih belum terlihat. Jadi tak bisa pamit kepada mereka. Mungkin masih asik dengan mimpi-mimpinya, mimpi anak-anak. Sampai bertemu lagi, Pak Laman dan keluarga! (author: saca firmansyah)

Label: ,

Selasa, 28 September 2010

Menuju Semeru (2), Seharian Menunggu Tumpangan Di Tumpang

27 September 2010
Pagi yang cukup cerah untuk memulai perjalanan. Dengan penuh semangat kami segera menuju Terminal Bungur Asih. Sesampainya di Terminal Bungur Asih, saya, Dinda, dan Alfi segera mencari bus yang menuju Terminal Arjosari, Malang. Tak lama menunggu kami langsung naik bus AC tarif biasa, bus PO. Kalisari. Biaya untuk sampai Malang dikenakan sembilan ribu rupiah.
Bus ini cukup nyaman juga. Ada AC dengan kursi-kursi yang empuk yang terkesan baru. Cukup rapih baik eksterior maupun interiornya. Di bus ini kami memilih duduk di kursi paling belakang. Di dekat jendela sebelah kanan. Barang-barang kami tempatkan di belakang kursi penumpang.
Di dalam bus ini, saya masih sangat mengantuk. Tapi tak bisa tidur juga. Ingin menikmati pemandangan sepanjang jalan. Dan tentu saja, ingin melihat bagaimana suasana jalan di sekitar daerah Porong yang katanya kini di sudut-sudut tertentu seperti kota mati tak berpenghuni.
Sepanjang jalan di daerah Porong, di sisi kiri jalan, pemandangan yang ada hanyalah tanggul penahan lumpur. Sementara di sisi kanannya rumah-rumah yang tak berpenghuni. Ada yang benar-benar tinggal puing-puing saja. Ada juga yang masih utuh dan bertuliskan “Dijual”. Tapi, siapa pula yang mau membelinya di daerah yang rawan genangan lumpur Lapindo seperti itu?
Saya hanya mengamat-amati saja dari dalam bus. Di atas tanggul berdiri beberapa pos masuk yang dibuat dengan bambu seadanya. Di pos itu ada beberapa orang yang berjaga. Di atas tanggul itu ada ibu-ibu, anak-anak baik lak-laki maupun perempuan, dan laki-laki dewasa yang nampaknya gembira sekali melihat pemandangan kawah lumpur itu. Ya, memang daerah itu sudah lama menjadi tujuan wisata orang-orang di daerah sekitar dan juga dari daerah lainnya. Terlepas dari penderitaan korban lumpur Lapindo, saya juga menikmati bagaimana indahnya ‘kota mati’ ini.
Setelah melewati Porong, dan masuk ke daerah Malang, saya memaksa diri untuk memejamkan mata. Tidak tertidur. Hanya sekedar mengistirahatkan mata saja agar tidak terlalu lelah. Lagipula, di sepanjang jalan dalam bus, kami tak terlalu banyak berbicara. Hanya saling berpandang mata saja.
Pagi itu jalanan cukup lancar. Kami tidak terhalang oleh kemacetan. Pukul delapan pagi kami tiba di Terminal Arjosari, Malang. Dari terminal, kami lanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot putih ke arah Tumpang. Kami memilih duduk di bangku paling belakang bersama barang yang cukup memakan tempat ini. Lagipula, kami akan turun di tempat pemberhentian terakhir. Jadi, tidak mengganggu masuk dan keluarnya penumpang-penumpang lain yang mungkin ada.
Untuk mencapai Tumpang, cukup ditempuh sekitar tiga puluh menit. Dalam waktu tiga puluh menit itu, lagi-lagi kami tidak terlalu banyak berbicara. Hanya saling berpandang mata saja. Mengamat-amati jalan di sisi kiri dan kanan. Sedikit-sedikit memejamkan mata juga.
Sampai di Tumpang, selesai menurunkan barang dan membayar ongkos sebesar lima ribu rupiah per orang, kami langsung menyeberang ke tempat mangkalnya sopir-sopir jeep menuju Ranu Pani di samping toko Alfa Mart. Di tempat ini juga menjadi tempat para pendaki dengan kelompok kecil berkumpul dan menunggu teman hingga jumlah kelompok menjadi sekitar dua belas sampai lima belas orang. Dengan jumlah sebanyak itu akan menjadi murah kalau mencarter jeep yang tarif carternya empat ratus lima puluh ribu rupiah.
Karena bukan di akhir pekan, kami tidak melihat pendaki sama sekali yang akan naik ke Semeru. Hanya kami bertiga saja yang akan mendaki hari itu. Tapi kami berharap akan ada teman jalan menuju Ranu Pani, agar dapat tumpangan murah. Kami mencoba untuk menunggu sambil terus berharap.
Sambil menunggu, saya membuka perbincangan dengan teman-teman yang mangkal di pos itu. Mereka cukup ramah-ramah dan sangat menerima, terbuka. Salah satu orang yang paling sering berbicara dengan saya adalah Mas Rudi. Dari dialah saya diminta untuk mengurus surat keterangan sehat di Puskesmas Tumpang, tak jauh dari pasar. Biayanya cukup lima ribu rupiah saja. Surat keterangan sehat harus di fotocopy dua lembar untuk persyaratan pendakian. Selain itu, juga fotocopy KTP dua lembar dan satu materai 6000. Jam sembilan pagi itu juga saya, Dinda dan Alfi segera mengurus persyaratan itu. Barang-barang kami tinggalkan di pos. Sudah ada jaminan aman dari Mas Rudi dan kawan-kawan di pos itu.
Selesai mengurus persyaratan, kami masih terus menunggu kemungkinan ada rombongan lain yang akan ke Ranu Pani. Mas Rudi mengatakan kalau sampai jam satu atau maksimal jam dua belum ada rombongan lain, biasanya memang tidak ada pendaki lain yang akan ke Semeru. Nah, kalau tidak sanggup carter jeep yang memang cukup mahal, kami disarankan untuk menumpang truk sayur yang akan berangkat ke Ranu Pani sekitar jam lima pagi nanti. Cukup membayar tiga puluh ribu rupiah saja per orangnya. Dan malamnya bisa nginap di rumah yang punya truk itu sambil menunggu pagi.
Untuk menunggu sampai jam dua itu, Mas Rudi menyarankan saya agar bermain-main dulu di sekitar Tumpang. Bisa ke Candi Jago atau wisata kuliner. Barang-barang biar ditinggal saja, katanya cukup aman di tempat itu. Mereka sudah biasa menyambut pendaki seperti itu.
Saya menurut saja. Lagipula saya takut kalau-kalau Dinda dan Alfi kehilangan mood untuk naek ke Semeru. Pukul sepuluh lebih tiga puluh menit, kami langsung berangkat ke Candi Jago yang tidak jauh dari Pasar Tumpang.
(Candi Jago, Tumpang - Malang)
Candi Jago ini ternyata terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk Tumpang. Hanya dipagari dengan pagar kawat sederhanya namun tertata apik.
(Pemandangan dari atas Candi Jago, Malang)
Di dekat Candi Jago terdapat pula Sekolah Dasar Negeri dan TK Aisyiyah. Karenanya candi ini hampir setiap hari menjadi tempat bermainnya anak-anak di sana usai pulang sekolah. Di Candi Jago ini kami duduk-duduk dan berfoto-foto bersama anak-anak SD yang kebetulan baru pulang sekolah.
(Foto narsis di Candi Jago, Tumpang, Malang)
(Foto ceria bersama anak-anak SD Tumpang di Candi Jago, Malang)
Selain itu, saya mengamat-amati pula cerita di relief bebatuan yang menyusun candi. Menurut Mas Rudi, Candi Jago adalah salah satu candi peninggalan kerajaan Singosari. Kalau dicari tahu, Candi Jago ini dibangun kira-kira pada 1275 - 1300 AD. Tempat ini diyakini sebagai tempat pemakaman abu Raja Wisnuwardhana, raja keempat dari kerajaan Singosari. Candi ini menjadi menarik karena memiliki kesamaan ornamen seperti candi Penataran di Kabupaten Blitar.
(Relief pada Candi Jago, Tumpang, Malang, Jawa Timur)
Selesai menikmati uniknya Candi Jago dan gembiranya bersama anak-anak sekolah di sana, pada pukul satu siang kami menuju masjid yang cukup besar di jalan raya Tumpang. Kami segera menunaikan sholat dzuhur dengan tak lupa menjamak sholat ashar.
Dari masjid kami kembali lagi ke pos. Menunggu lagi. Di waktu menunggu yang membosankan itu, kami mencoba melepas kebosanan dengan berbincang-bincang soal gambar yang ada di Pos. Singo edan mencekik buaya ijo, dan membuang ke tempat sampah yang bertuliskan: Bersih itu Indah.
(Mural di Pos Tumpang, The Spirit of Aremania, Bersih itu Indah)
Berbicara soal Malang, memang tak lepas dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dan tentu saja Aremania. Sejak lama saya cukup kagum dengan supporter sepak bola ini. Apalagi baru-baru ini mereka menjadi tuan rumah untuk Kongres Supporter Sepakbola Nasional yang menghadirkan berbagai kelompok Supporter agar dapat turut serta memajukan persepakbolaan Indonesia.
Selain itu, yang membuat saya kagum adalah solidaritas dan kreatifitas mereka. Banyak lagu-lagu supporter awalnya dari Aremania ini. Dan kalau anda main ke Malang, sepanjang jalan anda akan melihat orang-orang baik anak-anak, pemuda-pemudi, orang-orang tua laki-laki dan perempuan, banyak sekali yang menggunakan kaos Aremania. Anda akan benar-benar dibuat takjub dengannya.
Namun demikian, sangat disayangkan ternyata banyak di antara mereka yang masih menyimpan kebencian pada supporter lainnya, yaitu Bonekmania. Tentunya hal ini tidak menyenangkan bagi kami. Di satu sisi Aremania mewacanakan persatuan supporter, namun di sisi lainnya kebencian pada Bonekmania masih tersisa. Kita berharap semoga semua supporter Indonesia dapat bersatu untuk memajukan prestasi sepak bola nasional.
Selesai berbicara soal Aremania, dan tentu saja tentang Bonek karena Dinda dan Alfi wong Surabaya, kami mencoba mencari tempat makan untuk makan siang. Perut memang sudah keroncongan dari tadi di Candi. Tapi saya tidak ingin makan nasi. Ingin jajan saja. Sambil jalan, dipilihkan bakso sebagai menu jajanan siang itu. Di bawah pohon beringin yang rindang di tengah-tengah pasar Tumpang, kami menikmati menu makan siang kami, Bakso Gangsar.
Kalau saya boleh menilai bakso yang saya santap siang itu tidak lebih enak dari bakso yang dijual dekat rumah saya di Kebagusan Tiga, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jadi ya saya menikmati apa adanya saja. Sebenarnya saya juga tidak bisa dan tidak suka membandingkan-bandingkan makanan ini atau makanan itu yang lebih enak. Saya selalu menikmati apa adanya saja. Maklum, saya termasuk orang yang suka jalan-jalan tapi jarang jajan.
Sampai pukul tiga, belum ada juga rombongan lain. Akhirnya saya memutuskan untuk menumpang truk saja besok pagi. Salah seorang penduduk yang punya truk dan jeep adalah Pak Laman. Di rumah Pak Laman inilah saya akhirnya bermalam, sambil menunggu truknya mengangkut pupuk untuk warga Ranu Pani besok pagi. (author: saca firmansyah)

Label: , ,

Senin, 27 September 2010

Menuju Semeru, Cerita Di Antara Yogyakarta dan Surabaya

25 September 2010
Sabtu malam menjelang Minggu dinihari. Langit masih diterangi sisa-sisa cahaya bulan purnama yang dua hari lalu bersinar terang. Kebosanan dalam menunggu akhirnya pecah sudah. Kereta Api Gaya Baru Malam Selatan yang sudah banyak ditunggu orang tiba juga di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.
Agak telat memang. Tapi ini sudah biasa. Maklum, ini kereta api kelas ekonomi. Salah satu kereta api dengan tarif yang paling murah. Bayangkan, kalau dari Jakarta (Kota) sampai Surabaya (Gubeng) cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 33.500,- saja. Bukankah itu kelewat murah?
Soal tarif kereta, beberapa hari lalu saya dengar berita dari Jakarta tarif kereta ekonomi akan dinaikkan. Entah apa alasan sejatinya dan apakah kelak akan menuai protes atau tidak. Saya belum mau ambil pusing untuk itu. Yang jelas, sebagai bagian dari rakyat Indonesia dengan ekonomi pas-pasan dan senang jalan-jalan, saya selalu menikmati setiap jenis transportasi kelas ekonomi semacam ini.
Angin semilir berhembus. Malam semakin malam. Cahaya rembulan terlihat redup di balik kaca. Saya duduk di gerbong tujuh. Carrier saya yang lengkap dengan perlengkapan mendaki gunung saya tempatkan di tempat barang penumpang, di atas kursi. Ya, perjalanan saya selanjutnya adalah mendaki Semeru. Yogyakarta dengan Merapi-nya sedang tak sedap untuk dikunjungi. Cuacanya juga sedang tidak baik. Maka, tujuan saya dari Yogyakarta dengan kereta ini adalah Surabaya. Tepatnya turun di Stasiun Wonokromo. Menemui teman terlebih dulu untuk selanjutnya melakukan pendakian ke Semeru, Malang.
Sebelumnya, di Stasiun Lempuyangan ini saya berpisah dengan kawan seperjalanan saya, sebut saja Ais--Asli Serang, Banten. Ia tidak bisa melanjutkan liburan karena jatah liburannya memang sudah habis seminggu yang lalu. Dan kawan saya yang mahasiswi universitas terbesar dan ternama di Yogyakarta ini sudah membolos pada minggu pertama kuliahnya. Ia tidak ingin terlalu banyak ketinggalan di dalam kuliahnya.
Dalam perjalanan, ia sempat bercerita soal kuliahnya. Senang juga mendengar semangat belajarnya. Saya berharap kelak ia akan menjadi bagian dari kelompok yang akan membebaskan negeri ini dari keterbelakangan. Saya berharap kawan! Ingat, saya berharap sebagaimana kamu juga berharap!
***
Hari hampir berganti. Kereta pun bergerak perlahan-lahan. Saya lihat langit gelap dan awan-awan hitam yang juga ikut bergerak perlahan-lahan. Tak kulihat lambaian tangan Ais. Yang kulihat adalah senyum ibu-ibu tua yang menjajakan nasi pecel.
Tidak hanya satu, ada beberapa ibu-ibu tua yang hilir mudik menjajakan barang dagangannya. Nasi pecel, nasi rames, nasi ayam, pisang rebus, kacang rebus, hampir semua ibu-ibu tua. Yang agak sedikit lebih muda adalah mereka yang menjajakan minuman hangat. Jahe, kopi, kopi susu, susu panas, dengan macam-macam merek dalam kemasan siap saji.
Selain kaum perempuan, kaum lelaki lebih gesit menawarkan dagangan yang serupa. Tapi lebih bermacam-macam. Ada yang menjajakan juga alat dapur yang terbuat dari kayu kelapa. Ada juga yang menawarkan makanan khas daerah, seperti bakpia, pisang gethuk, dan lainnya. Ada pula seorang lelaki buta yang menawarkan jasa pijat di dalam kereta.
Macam-macam cara orang-orang ini untuk mengais sekeping dua keping atau selembar dua lembar rupiah. Oleh karena pemerintah dan saya juga tak banyak membantu dalam masalah mereka, saya pikir tidak perlulah berpikir untuk mengusir mereka ini.
Walaupun memang mengganggu kenyamanan di kereta api tetapi juga banyak pula penumpang kereta yang membutuhkannya. Termasuk saya yang turut membeli nasi sate ayam seharga lima ribu rupiah dan nasi pecel seharga tiga ribu rupiah saat lapar benar-benar menampar.
Ditambah lagi sebotol minuman kemasan Mizone seharga lima ribu rupiah untuk melepas dahaga. Semuanya dari pedagang yang berbeda-beda. Pedagang yang katanya mengganggu kenyamanan penumpang di dalam kereta api. Pedagang yang katanya perlu ditertibkan. Pedagang yang terus hilir-mudik entah sampai stasiun yang mana, di pemberhentian yang mana ia akan benar-benar berhenti berdagang.
26 September 2010
Di tengah gerbong tujuh, di pojok bangku dekat jendela dengan nomor kursi 14 A, saya sempat tertidur pulas. Badan saya memang agak lelah karena malam-malam sebelumnya kurang tidur. Maklum, di jalanan sangat sedikit ruang untuk tertidur pulas saat malam hari tiba. Di kost-an teman-teman lama pun juga sayang kalau hanya dilewatkan dengan tidur saja.
Sampai di Stasiun Mojokerto saya terbangun. Saya diingatkan oleh seorang penumpang yang berasal dari Kota Batu, Malang untuk bersiap-siap sekitar setengah sampai satu jam lagi kalau mau turun di Wonokromo. Saya memang sempat berbincang-bincang dengannya. Tujuannya sampai ke Stasiun Gubeng. Katanya, ada urusan keluarga dan akan lanjut ke Malang dengan bus.
Dari orang itu saya diingatkan agar naik angkot kecil saja untuk ke Terminal Bungur Asih atau Purbaya. Katanya, orangnya lebih baik-baik daripada naek ’Bison’. Apalagi kalau kita ketahuan bukan asli daerah itu. Ia bercerita soal pengalaman buruknya itu sekilas saja. Sayangnya saya tidak terlalu mendengarkan. Selain bising, saya juga sangat mengantuk saat itu.
Sampai di Stasiun Wonokromo, kira-kira jam tiga dinihari, saya segera turun dari kereta. Teman sebangku saya ternyata memang sangat baik sampai-sampai menunjukkan dimana saya harus menyetop angkot dan berapa rupiah yang saya harus bayarkan. Salam satu jiwa.. Ya, makasih deh..:)
Sesuai dengan arahan, akhirnya bersama rombongan dengan logat Madura saya naik angkot yang ditunjukkan teman sebangku saya di kereta itu. Saya dan rombongan kawan-kawan Madura itu ternyata satu tujuan, yaitu terminal Bungur Asih. Cukup ramah sekali mereka ini, mereka sempat menanyakan beberapa pertanyaan dengan bahasa Jawa yang tidak saya mengerti. Saya hanya senyum saja, tersenyum kebingungan.
Di angkot, saya duduk di pojok, di bangku paling belakang sebelah kiri. Terjepit carrier yang memang cukup memakan tempat. Untungnya, tidak sampai setengah jam dari Stasiun Wonokromo saya sudah sampai di Terminal Bungur Asih/Purbaya. Angkot langsung kosong karena memang hanya mengantar sampai terminal. Saya membayar dua ribu lima ratus rupiah.
Usai membayar ongkos, saya pamit berpisah dengan kawan-kawan Madura yang masuk ke terminal untuk naik bus ke luar kota, ke Madura. Saya menyeberang rel untuk naek angkot ”X” ke daerah Rewin, tempat kawan saya tinggal.
Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Saya mampir di sebuah warung di persimpangan jalan. Dalam bahasa Jawa orang yang ada di warung itu bertanya saya mau kemana. Saya katakan mau ke Rewin, mau naek angkot “X”. Mendengar jawaban saya, orang yang bertanya itu mengatakan lebih baik naik ojek. Karena biasanya angkot itu pagi nanti sekitar jam enam baru beroperasi. Saya ditawarkan juga kalau mau menunggu untuk duduk di dalam saung yang ada di samping warung.
Di depan warung, ada ojek yang memang hanya satu-satunya saat itu. Karena bosan menunggu, saya akhirnya memutuskan naek ojek saja. Tukang ojek yang dari tadi kelihatan murung ini ternyata ramah juga. Mungkin senang dapat penumpang. Saya berikan alamat yang akan saya tuju kepada tukang ojek itu, ia menawarkan ongkos sepuluh ribu rupiah untuk sampai di depan rumah yang dituju. Tanpa tawar menawar saya langsung naek ojek motor itu.
Sepanjang jalan, tukang ojek itu terus bercerita dalam bahasa Jawa. Saya tidak benar-benar mengerti apa yang dia katakan. Saya pun hanya bisa menjawab, “ehmm”, “oh..”, “iya..”.
Perjalanan dengan ojek itu ternyata cukup jauh juga rasanya. Beban carrier yang saya bawa mungkin yang membuat badan saya jadi pegal-pegal dan waktu terasa lambat. Saya pun berpikir, murah juga sepuluh ribu sejauh ini. Kalau di Kampus UI Depok, jarak dekat saja sudah lima ribu rupiah.
Sampai di depan rumah yang dituju, saya menghubungi no. HP teman saya, Dinda Dinar Gumilang. Tapi tidak diterima. Mungkin masih tidur, maklum masih dinihari. Masih pagi-pagi buta. Saya memilih untuk menunggu bersama Satpam Perumahan yang sedang berjaga di bundaran perumahan. Saya juga mengirim SMS saja bahwa saya sudah tiba di rumahnya dan sedang menunggu.
***
Oh iya, mungkin ada yang bingung dengan angkot “X”. Angkot “X” ini memang benar-benar bertuliskan “X” sebagai penandanya. Dan untuk teman yang saya datangi ini, saya baru bertemu sekali di Yogyakarta, saat Mukatamar Seabad Muhammadiyah. Selain itu, komunikasi hanya berlangsung melalui SMS dan chattingan lewat Yahoo! Messenger (YM). Dalam satu perbincangan di YM, saya berjanji akan mengajaknya ke puncak tertinggi di daerahnya, di Pulau Jawa, yaitu Puncak Mahameru (Gunung Semeru). Karena itulah, dalam perjalanan kali ini ada misi untuk menunaikan janji.
***
Sambil menunggu pagi di Rewin, saya berbincang bersama Satpam dengan jejeran gelas kopi di bawah lampu temaram taman perumahan. Tapi tak lama, karena beberapa menit kemudian nada SMS berdering. Dinda baru saja bangun dan meminta saya untuk langsung ke rumahnya.
Sebelum sampai rumahnya, Adzan Shubuh berkumandang. Sampai di rumah, Dinda menyambut dengan senyumannya yang terakhir kali saya lihat awal Juli lalu. Tak berapa lama kemudian ayahnya keluar untuk Shalat Shubuh di Masjid AnNur Rewin. Saya pun tak segera masuk rumah. Tapi menaruh carrier di samping pintu dan ikut sholat ke masjid. Pagi itu gerimis. Tapi saya berharap cuaca akan cerah, selalu cerah untuk saya, untuk pendakian kami.
Usai shalat, saya baru berani masuk ke rumah. Menikmati teh manis hangat dan senyum hangat ayah dan ibunya. Di dalam ruang tamu, saya berbincang sebentar bersama ayahnya juga ibunya. Lebih banyak perkenalan. Karena memang kami belum pernah mengenal sebelumnya. Dari perkenalan itu, saya baru mengetahui bahwa keluarga ini memang keluarga Muhammadiyah tulen. Ayahnya Dinda mengabdi di Muhammadiyah sebagai guru, begitu pula ibu dan kakaknya. Dinda sendiri belajar di TK sampai Universitas Muhammadiyah. Luar biasa...
Sebelum kemana-mana, Dinda mengatakan kepada saya bahwa hari Minggu itu ada dua acara yang masih harus diikutinya. Yaitu ke Bungkul untuk rapat evaluasi bisnis yang sedang dirintis kawan-kawan IMM Unmuh Surabaya dan halal bi halal teman-teman KKN-nya dulu. Saya mengikutinya saja sampai kedua acara itu selesai.
Sepanjang hari itu, saya benar-benar merasakan kantuk yang amat sangat. Tapi saya tidak ingin tidur, tidak ingin melewati apa yang terjadi di hari itu. Maklum, saya belum benar-benar mengenal orang yang akan menjadi kawan seperjalanan saya ini. Oh iya, satu kawan jalan lainnya adalah Alfiah Agustin. Teman dekat Dinda yang akan bertemu di Taman Bungkul. Karena itulah, lebih baik menahan kantuk, dan baru akan tidur nanti saja saat di angkot atau bus atau kendaraan lainnya untuk menuju Malang. Hari itu adalah hari untuk saling mengenal sebelum perjalanan yang berat dimulai.
Sekitar pukul tiga sore acara yang harus dilalui Dinda baru benar-benar selesai. Saya pun baru mulai membereskan barang-barang yang ada di carrier saya. Tapi, sebelumnya sambil menunggu Alfi yang belum datang berkumpul di rumah Dinda, saya dan Dinda belanja bahan makanan dan lainnya untuk pendakian. Apa-apa yang mesti dibelanjakan sudah saya list sebelumnya.
***
Sekitar pukul setengah lima sore saya baru selesai berbelanja. Alfi sudah menunggu dan siap dengan barang-barang pribadi yang saya minta untuk dibawanya, seperti jaket, sleeping bag, dan pakaian ganti. Sore itu saya segera melakukan cek ulang barang bawaan saya dan logistik untuk kami bertiga.
Barang bawaan saya yang ada dalam Carrier (Deuters) antara lain: Sleeping Bag (2 bh), Flysheet uk 2x3 m (1 bh), Kompor Gas (1 bh), Gas Hi Cook (2 Klg), Nasting (1 bh), Headlamp (S-Sun 1 bh), Payung (1 bh), Tenda (1 set), Pisau Dapur (1 bh), Kamera DSLR (Olympus E-420) (1 unit), Alat Navigasi (Peta, GPS Garmin 12 XL, Kompas, Protaktor, Busur), Kain Sarung (2 ptg), Kemeja (3 ptg), Kaos / T-Shirt (3 ptg), Celana Panjang Bahan Kain Warna Hitam (1 ptg), Celana Jeans (1 ptg), Celana Dalam (3 ptg), Pakaian jalan (Celana Pendek warna biru, T Shirt warna biru, CD), Jaket (Jack Wolfskin merah 1 ptg, dan 1 “R” warna biru), Kaos kaki (2 psg), Sarung tangan (1 psg), Rain Coat, Sendal (bermerek Citarik), Obat-obatan (Komix Cair, Antangin Cair, Kapas, Kain Kasa, Tisu Basah), dan di samping carrier ada Matras (2 bh). Untuk pendakian saya menggunakan sepatu Hi Tec, V Lite.
Untuk logistik, di dalam carrier terdapat Beras, Teh sachet (2 pcs), Cocoa bubuk (1 bks), Susu bantal (9 pcs), Vicee (6 tablet), Sayur sop (untuk 3 x masak), Sosis (1 bks), Bakso Udang (1 bks), Ikan asin, Bumbu nasi goreng (2 bks), Roti tawar (1 bks), Beng-beng (24 bks), Biskuat (6 bks), Indomie (6 bks), Sarden (2 klg), Saos pedas (1 btl).
Barang-barang lainnya adalah tali rafia (1 bks), Tisu toilet (2 bks), Tisu basah (3 bks), Korek Api Gas (2 bh), Korek Kayu (2 bks), dan Alat jahit.
Packing ulang, baik saya, Dinda, dan Alfi baru selesai pukul enam kurang, sebelum waktu maghrib tiba. Rencananya kami akan berangkat malam itu juga. Tapi ibunya Dinda khawatir kalau kami berangkat malam itu. Untuk menenangkan hati sang ibu, saya mengiyakan untuk menunda perjalanan esok pagi saja, usai sholat shubuh.
Setelah kepastian itu, saya dan Alfi akhirnya menginap di rumah Dinda. Usai sholat maghrib menikmati masakan sang bunda terlebih dahulu. Setelah itu berbincang-bincang hingga larut malam. Dalam perbincangan itu, awalnya saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya. Kemudian saya lebih banyak bercerita tentang pengalaman pendakian saya.
***
Kalaulah Dinda dan Alfi benar-benar menyimak rentetan cerita saya, ia pasti paham bahwa bukan hanya sekali ini saja saya nekad mengajak perempuan-perempuan yang baru pertama kali naek gunung. Kalau dihitung-hitung, ini kali ke lima saya mengajak perempuan yang baru pertama kali naek gunung ke gunung-gunung tinggi seorang diri. Tapi ini adalah yang pertama kalinya saya naek gunung dan mengajak dua orang perempuan yang baru pertama kalinya naek gunung dan tidak saya kenal pula dengan baik sebelumnya. Inilah tantangannya. Tapi tetap dalam perhitungan yang rasional.
Saya ingat betul nasihat kawan, ”Keberanian itu menentang ketakutan, melawan ketakutan, bukan dengan tiadanya ketakutan.” Sederhana sajalah, saya juga pasti punya ketakuan. Tapi seperti yang saya katakan pada teman saya, Tia sebelum saya berangkat, ”gw gak tahu apa-apa kalau gw gak ngejalanin sesuatu itu, dan buat tahu itu gw perlu menjalaninya. entah penderitaan, petualangan atau kesenangan yang akan gw dapat. yang jelas, gw sudah melakukan persiapan, tinggal diuji lagi, bagaimana keberanian gw dalam menyikapi ketakutan, mengambil keputusan-keputusan..” Yang tentunya jangan sampai membahayakan orang-orang yang tidak mengerti apa-apa. Di sinilah saya mencoba belajar menjadi seorang pemimpin. Sekaligus juga menjadi seorang pengikut, pengikut kebijaksanaan dalam bersikap.
***
Malam terasa panas. Kami keluar dari rumah dan melanjutkan perbincangan. Entah mengapa, malam itu saya senang sekali melihat semangat di wajah mereka. Juga rasa penasaran mereka berdua untuk segera memulai pendakian. Saya senang sekali, menatap mata mereka yang seperti membayangkan bagaimana pendakiannya kelak akan berlangsung, atau bagaimana indahnya Ranu Kumbolo dan Mahameru. Saya senang dengan mereka berdua. Senang karena akan ada teman seperjalanan yang baru dalam pendakian kali ini.
Tak terasa, hari sudah tengah malam. Tepatnya, hari telah berganti. Rasa kantuk yang tadinya berkuasa, perlahan justru menghilang. Agar badan tetap fit, saya meminta agar mereka berdua tidur dan saya juga harus memaksakan diri untuk tidur. Saya ingat kata-kata teman saya, ”Kita boleh tidur sampai larut malam, tapi biasakan untuk tidur sejam dua jam untuk menghargai sang malam.” Pukul satu dinihari saya pun tidur. Entah dengan mereka yang sejam sebelumnya sudah masuk kamar.
***
Kira-kira pukul empat, atau saat Shubuh mulai merangkak masuk, saya terbangun. Beres-beres sedikit. Setelah semua shalat Shubuh, kami bersiap-siap berangkat. Usai shalat kami langsung menuju terminal Bungur Asih menggunakan sepeda motor. Dari terminal Bungur Asih rencananya lanjut naik bus ke terminal Arjosari, Malang. Pagi yang cerah, saya selalu berharap semoga hari-hari pendakian kami selalu cerah. Secerah semangat kami pagi hari ini. (author: saca firmansyah)

Label: ,

Minggu, 26 September 2010

Manifesto 68:1

Nuun.
Demi Qalam dan apa yang mereka tulis,
berkat Nikmat Robb-mu
kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.
Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putus.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat,
siapa di antara kamu yang gila.
Sesungguhnya Robb-mu,
Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari Jalan-Nya;
dan Dia-lah yang paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak
lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).
[Al-Qalam (68): 1-9]

Label: