Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan ditorehkan pada dokumen dengan berbagai media—dahulu tinta pada papirus, sekarang byte computer pada cakram disk. Namun, ada satu yang masih bertahan: buku. Kenapa buku? Buku menawarkan nostalgia kenyamanan yang tak tertandingi media lain. Buku membangkitkan nuansa kreativitas. Buku menawarkan cita-cita. Buku merupakan penyampai lidah pengarang yang rindu pada pembacanya.
(Komunitas Pencinta Perpustakaan)
Saya agak tergelitik juga dengan iklan
Nokia Ovi Life Tools. Sebagai seorang pemerhati dunia perpustakaan, dan juga telah mengenyam pendidikan perpustakaan selama lebih kurang enam tahun, tentu saja iklan semacam itu sangat menggelitik saya.
Walaupun barangkali tidak bermaksud mengkerdilkan peran perpustakaan konvensional dalam mengembangkan pengetahuan remaja, tapi iklan itu seakan-akan 'menyentil' pustakawan yang masih saja diidentikkan hanya sebagai penjaga perpustakaan dan pengatur buku di rak-rak buku.
Sementara perkembangan teknologi kian pesat (perpustakaan--pengetahuan--dapat berada di dalam genggaman anda!), pustakawan masih saja sibuk di dalam ruang perpustakaan dengan buku-buku terserak dan peraturan yang kaku.
Saat berdiskusi dengan seorang teman, Citra Octaviana, dan juga dosen saya, Utami Hariyadi beberapa hari lalu, saya sampaikan sedikit kegelisahan saya mengenai imej perpustakaan dalam iklan tersebut.
Dengan Citra, saya lebih banyak membahas soal teori-teori komunikasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, social media, Gen Y, globalisasi dan gurita kapitalisme yang juga mencengkeram dunia pendidikan, dan bagaimana kira-kira rencana pengembangan dunia perpustakaan di tengah-tengah itu semua.
Sedangkan bersama Utami, kami bertiga berbagi cerita tentang peran pustakawan yang sangat kurang dalam mengembangkan dunia perpustakaan. Utami bercerita bahwa ada rekannya, yang dosen Fakultas Teknik UI, justru lebih perhatian dalam mengembangkan perpustakaan, khususnya perpustakaan sekolah.
Utami menuturkan, sebenarnya sederhana saja yang dilakukan temannya itu, yaitu bagaimana merancang perpustakaan sekolah agar secara arsitektur, baik interior maupun eksterior menjadi menarik untuk dikunjungi. Itu semua dilakukannya secara cuma-cuma sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat.
Utami, yang Ketua Vokasi Ilmu Perpustakaan UI merasa sangat tergelitik juga dengan apa yang telah dilakukan oleh temannya itu. Karena, menurutnya, sebagai pustakawan justru belum banyak yang ia lakukan bagi perkembangan dunia perpustakaan.
Dalam diskusi yang berlangsung singkat di salah satu resto di bilangan Kober, Margonda Raya Depok, singkat cerita akhirnya kami sama-sama punya tekad untuk mengembangkan keilmuan yang kami geluti dengan berbagai cara kami masing-masing.
Karena mereka berdua belum pernah menyaksikan iklan yang menjadi pemicu diskusi itu, saya pun berjanji akan memperlihatkannya nanti, tak lama setelah pertemuan itu.
Seiring waktu berganti, Rabu itu saya kepikiran juga untuk melihat respon rekan-rekan seangkatan saya di Program Studi Ilmu Perpustakaan. Bagaimana pikiran-pikiran mereka dan masihkah ada antusiasme yang tinggi dari mereka terhadap dunia perpustakaan.
Saya mencoba 'menggelitik' mereka dengan iklan Nokia itu melalui milis, tentu ditambah dengan kata pengantar saya yang provokatif. Tapi, sayang hanya beberapa saja yang antusias. Itupun pikiran-pikiran yang dikemukakan pada awalnya lebih cenderung self-defense dengan tanpa solusi dan ide-ide kreatif untuk pengembangan perpustakaan selanjutnya.
Namun demikian, dari diskusi itu kami, saya dan Citra, setidaknya dapat membuat mereka lebih aware dengan dunia perpustakaan dan perkembangan lingkungan di sekitarnya. Di samping itu juga memperkaya wacana saya tentang pustakawan dan isu plagiarisme yang disampaikan Grace Wiradi. Berikut adalah petikan lengkapnya.
Baca selengkapnya »Label: pendidikan